Welcome...

Selamat datang di blog saya. Senang sekali ada yang mau berkunjung. Mencoba menjadi penulis yang baik. Menuliskan topik yang terjadi di sehari-hari berdasarkan pengalaman pribadi, lumayan panjang (walaupun capek mikir dan ngetik wakakaka...), inspiratif, informatif, dan tidak membosankan pembaca (karena saya males baca sebenarnya)... Semoga blog ini bermanfaat buat semua yang mampir. Terima kasih... :)

Monday, December 20, 2010

Lepaskan Lalu Buat Ulang

Masih ingat kan ceritaku mengenai Dua Benang Rajut yang pernah kuposting sebelumnya? Long long time ago, aku memang pernah belajar merajut. Saat merajut, seringkali aku merasa jengkel karena rajutanku tidak pernah rapi. Memang sih sewajarnya tidak rapi karena masih pemula. Kejengkelan itu kulampiaskan dengan membuka jalinan benang-benang wol yang telah kubuat.  Benang-benang wol tersebut kemudian kurajut ulang dengan tujuan supaya hasil rajutannya menjadi lebih rapi dari sebelumnya. Kenyataannya... (Kisah ini mungkin mirip dengan ilustrasi tentang Penjunan dan Tanah Liat)


Dari kisah di atas mari kita dapat belajar mengenai:


Kita seperti benang-benang wol itu. Ketika kita memberi hasil yang tidak baik, kita akan dikembalikan ke keadaan semula terlebih dahulu (menyadari diri kita lemah dan berserah). Seperti benang wol yang dirajut ulang, demikian pula kita dibentuk ulang oleh Tuhan melalui rangkaian peristiwa yang tidak mengenakkan hingga kita menjadi pribadi-pribadi yang luar biasa. Tampak sederhana bukan? Memang mudah kalau hanya sekedar berkata-kata. Namun kenyataannya tidak demikian. Kita bukan seperti benang wol yang merupakan benda mati. Pasrah. Mau diapakan saja boleh. Kita ini makhluk hidup yang memiliki kehendak. Coba kamu berada dalam kondisi seperti itu. Apakah kau akan berserah untuk dibentuk oleh Tuhan? Tidak. Hampir sebagian besar dari kita akan mengandalkan kekuatan kita. Mengandalkan otak kita yang pintar. Pengalaman kita yang banyak. Mungkin juga koneksi yang kita punya. Mengandalkan dan berserah pada Tuhan? Ow... Tunggu dulu. Tuhan menjadi pilihan terakhir apabila segala usaha tidak lagi berhasil. Atau mungkin kita terlalu sombong mengakui bahwa kita telah kalah hingga sama sekali tidak mau berbalik dari jalan kita yang sesat?


Aku pernah menerima sebuah jawaban dari seorang teman yang sangat baik mengenai pertanyaan. "Bagaimana supaya kita menjadi pribadi yang menyenangkan Tuhan?"


  1. Humble. Benar sekali. Kerendahan hati diperlukan agar kita menyadari bahwa kita ini manusia berdosa. Makhluk yang lemah dan bodoh. Lebih bodoh dari keledai. Keledai saja tidak jatuh dalam lubang yang sama namun kita jatuh dalam dosa yang sama berulang-ulang kali. Ketika kita sudah menyadari bahwa kita tak bisa apa, kita harus berserah pada Tuhan untuk mau dibentuk.  
  2. Teachable. Proses pembentukan itu tidak akan dapat berjalan apabila kita tidak mau diajar dan belajar. Mengapa diajar dan belajar? Mengapa tidak diajar atau belajar saja? Mari kita lihat ilustrasi ini... Kita tentu pernah mengikuti sebuah kuliah bukan? Pernahkah mahasiswa hadir semuanya(lengkap)? Tidak. Ada mahasiswa yang malas dan ada mahasiswa yang rajin. Bagaimana bisa menangkap pelajaran klo tidak mau diajar? Dalam satu kelas, apakah setiap orang akan menangkap jumlah materi yang sama? Tidak. Mungkin ada yang menangkap pelajaran 80 persen, 50 persen, bahkan mungkin ada yang tidak menangkap sama sekali. Itu terjadi karena tidak semua murid mau belajar alias memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Contoh yang lain dalam ujian. Apakah semua murid akan mendapatkan nilai yang sama? Semuanya dapat 100 atau semuanya dapat 60? Tidak. Mengapa terjadi perbedaan nilai yang bervariasi? Karena saat belajar tidak semuanya sungguh-sungguh belajar. Seperti itulah yang terjadi. Tidak semuanya orang yang mau diajar sungguh-sungguh mau belajar. Karena itulah tingkat pertumbuhan rohani setiap orang berbeda.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita rendah hati sehingga mau diajar dan belajar? Kalaupun mau diajar, apakah kita sungguh-sungguh mau belajar?

  

Sunday, December 19, 2010

Too Much Love Will Kill You (In The End)

Beberapa hari ini aku sering banget minum green tea. Hal itu bermula dari keisengan pada suatu suatu siang yang panas di kantin sebuah rumah sakit. Saat itu pengen saja merasakan bagaimana rasa green tea botol yang sering banget diminum oleh seorang teman. Ya jadinya pada hari itu aku minumlah green tea botol tersebut. Ntah kenapa rasa green tea tersebut sesuai dengan seleraku. Besoknya aku minum green tea lagi tapi kali ini green tea ditambah madu. Dan keesokan harinya, keesokan harinya lagi hingga sekarang setiap hati aku pasti minum green tea paling tidak sebotol sehari.

Berbicara mengenai addicted, aku teringat akan pasien-pasien di stase interna kemarin. Hampir sebagian besar dari mereka menderita Diabetes Melitus. Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein hasil dari kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Penyakit ini sangat jahat karena dapat menimbulkan komplikasi baik itu mikrovaskular maupun makrovaskular yang secara perlahan akan menimbulkan kematian tanpa disadari oleh panderitanya. Kenyataan itulah yang aku lihat selama menjalani stase interna. Banyak dari penderita diabetes itu harus mengkonsumsi obat untuk mengatur kadar gula darah mereka karena ketika mereka didiagnosa diabetes, kondisi mereka sudah memburuk.


Lalu apa hubungan antara kecanduan minum green tea, diabetes, dan judul postingan ini?

Hari ini bersama dengan teman-teman, aku melakukan pelayanan kesehatan di Teluk Naga. Di mobil sewaktu berada dalam perjalanan, kami mendengarkan lagu dari ponselku. Aku memperdengarkan lagu yang berjudul Too Much Love Will Kill You karena menurutku lagu tersebut cukup unik. "Terlalu banyak cinta akan membunuhmu"

Green tea membuatku kecanduan, makanan/minuman manis membuat pasien-pasien ketagihan. Ketika aku berpikir soal kecanduan, aku teringat akan dosa. Ya dosa itu nikmat. Dosa itu menyukakan hati. Dosa itu membuat kita kecanduan. Dosa mengikat kita. Dia terus-menerus menggoda kita. Setidaknya itulah yang aku alami saat ini. Aku sms seorang teman begini. "Keledai saja tidak akan jatuh dalam lubang yang sama. Namun aku jatuh dalam dosa yang sama berkali-kali. Ya ternyata aku lebih bodoh dari keledai."


Setiap hal yang berlebihan itu tidak baik. Cinta yang berlebihan bisa membunuhmu perlahan-lahan dengan kecemburuan yang tidak rasional. Berpikir tentang suatu hal yang sebenarnya tidak terjadi. Selain itu dosa yang berlebihan alias mengulang-ulangi dosa terus-menerus tidak baik. Kristus telah mati bagi aku. Bagi kita semua. Aku merasa menyia-nyiakan keselamatan itu dengan jatuh ke dalam dosa terus-menerus. Lagi belajar dan berjuang untuk keluar dari dosa-dosa yang belum diselesaikan. Berharap setiap orang yang membaca tulisan ini boleh kembali merenungkan betapa besar kasih Allah buat kita sehingga Kristus mau mati buat kita ketika kita masih berdosa.

Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Roma 5:6-8

Tuhan Yesus memberkati...

Friday, December 17, 2010

Kesan Penonton

Sudah dua hari ini aku nonton film berturut-turut. Salah satu film yang aku tonton itu The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader. Dari film itu, aku menangkap beberapa pelajaran berharga di dalamnya. Berikut ini aku akan membagikan beberapa pelajaran penting yang aku dapat.
  1. Ketidakpercayaan Eustace ketika melihat seekor tikus yakni Reepicheep dapat berbicara seperti manusia.Eustace berpikir apakah saat ini dia sedang bermimpi? Ketika menyaksikan adegan itu, aku sepertinya dihadapkan pada suatu peristiwa penting di dalam Alkitab. Masih ingat peristiwa "Yesus Menampakkan Diri Kepada Tomas" - Yohanes 20:24-28? Terkadang kita seperti Tomas, kita meragukan mengenai Tuhan kita Yesus Kristus. Kita meragukan banyak hal. Kita meragukan apakah Dia sungguh-sungguh bangkit? Kita meragukan bahwa Dia Tuhan. Kita meragukan kasih penyertaan-Nya. Kita meragukan kuasa-Nya, bahwa Dia berkuasa atas segalanya. Mengapa kita mesti ragu? Dia benar-benar adalah Tuhan kok. (Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat-Ibrani 11:1).
  2. Juga ada adegan dimana Eustace didorong oleh Reepicheep untuk terus maju ketika menghadapi masalah. Dari sana aku belajar tentang keberanian untuk menghadapi masalah bukan lari dari masalah. Aku selalu suka dengan Reepicheep karena dia selalu optimis, mengambil hal postif dari setiap ketidakberuntungan yang terjadi, yang paling penting dia sangat percaya dan mau berjuang untuk Narnia, untuk Aslan.
  3. Ketika sampai ke adegan Lucy yang sangat ingin menjadi cantik seperti Susan, aku teringat pada seseorang dan make up. Seperti halnya Lucy, seseorang ini menganggap make up itu sangat penting untuk membuat cantik. Ketika Lucy sudah bersentuhan dengan make up atau apapun itu, dia kehilangan identitasnya. Dia berubah menjadi orang lain (Susan). Banyak yang mengkritik C.S. Lewis karena menganggap dia anti terhadap perempuan. Kritik itu muncul karena Susan tidak dapat lagi masuk ke Narnia karena telah mengenal lipstik, dll. Menurutku, maksud C.S. Lewis bukan seperti itu. Menurut aku, maksud C.S. Lewis itu Susan sudah tidak benar-benar murni lagi hatinya. Hatinya telah terbagi dengan hal-hal lain (lipstik dll). Dari sini kita dapat belajar bahwa kecantikan itu bukan polesan bedak di wajah atau lipstik di bibir kita, namun kecantikan itu apa yang berasal dari hati kita. Kita juga dapat belajar bahwa untuk berkenan kepada Allah, hati kita harus benar-benar murni. Kita harus punya hati seperti seorang anak kecil (Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia. Itulah angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Allah Yakub." Mazmur 24:3-6)
  4. Sampailah kita pada adegan terakhir di mana semuanya bertemu dengan Aslan. Di mana mereka akan ke dunianya Aslan. Di sini kita dapat melihat bahwa Caspian menolak ke dunia Aslan karena tidak bisa meninggalkan rakyatnya. Begitupula dengan Edmund, Lucy, dan Eustace, mereka pun menolak untuk pergi. Dari semuanya hanya Reepicheep yang bersedia pergi. Ketika pergi, Reepicheep meninggalkan pedangnya karena beranggap pedang sudah tidak diperlukan lagi di dunia Aslan. Dari sini kita dapat belajar bahwa jika Allah memintamu untuk melepaskan semua hal yang kamu miliki untuk mengikuti Dia, apakah kamu akan melepaskannya? Di sini kita melihat bahwa Caspian, Edmund, Eustace dan Lucy tidak dapat pergi. Kita juga melihat bahwa Aslan menghormati pilihan mereka. Begitu juga Allah, Dia menghormati apapun pilihan kita dan apapun pilihan kita itu haruslah kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Kita juga dapat belajar dari Reepicheep, ketika dia mengikuti Aslan ke dunianya, dia melepaskan pedangnya padahal pedangnya adalah kebanggaannya. Begitu juga kita, ketika kita mengikuti Allah, kita harus melepaskan semua kebanggaan kita. Bukan hanya itu, aku mengambil kesimpulan bahwa Reepicheep menganggap pedang itu tidak perlu karena dia yakin bahwa di dunia Aslan pedangnya sudah tidak diperlukan lagi. Di dunia Aslan tidak ada yang namanya perang, yang ada hanya kedamaian.
Pertanyaan penting yang aku renungkan ketika selesai menonton film ini. "Siapkah aku ikut Tuhan?"

Monday, December 6, 2010

Lanjutan Percakapan Di Bis

Aku ingat pembicaraan mengenai topik pasangan hidup yang begitu semangat diperbincangkan dalam bis menuju ke tempat retret beberapa waktu yang lalu. Pada waktu itu aku ditanya bagaimana pandanganku mengenai pasangan hidup. Kalau kau bertanya padaku mengenai kriteria pasangan hidup, aku membedakannya hanya menjadi 2 bagian yakni penting untuk dimiliki dan dimiliki bersyukur namun tak dimiliki pun tak mengapa. Sebenarnya aku ingin menambahkan lagi satu hal penting mengenai pasangan hidup namun aku lupa cerita mengenai yang selengkapnya mengenai “Pasangan Dari Tuhan”. Hari ini entah mengapa aku tergerak untuk mencari tulisan mengenai “Pasangan Dari Tuhan” itu dari internet.

Pasangan Dari Tuhan

Bertahun-tahun yang lalu, Aku berdoa kepada Tuhan untuk memberikan pasangan hidup, “Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya”, Tuhan menjawab. Tidak hanya Aku meminta kepada Tuhan, Aku menjelaskan kriteria pasangan yang kuinginkan. Aku menginginkan pasangan yang baik hati, lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, penuh perhatian. Aku bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini kuimpikan. Sejalan dengan berlalunya waktu, Aku menambahkan daftar kriteria yang kuinginkan dalam pasanganku.

Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hatiku,” Hamba-Ku, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan. ” Aku bertanya, “Mengapa Tuhan?” dan Ia menjawab, ” Karena Aku adalah Tuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar.” ” Aku bertanya lagi, “Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dari-Mu?” ” Jawab Tuhan, “Aku akan menjelaskannya kepada-Mu, Adalah suatu ketidak adilan dan ketidak benaran bagi-Ku untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagi-Ku untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak…”

Kemudian Ia berkata kepadaku, “Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu.

Pernikahan adalah seperti sekolah – suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid. Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat tumbuh bersamamu.”

Tulisan tersebut mengajarkanku suatu hal yang penting. Kebanyakan dari kita sibuk membuat daftar kriteria pasangan hidup yang kita inginkan namun jangan egois, pernahkah membuat daftar kriteria hal-hal apa yang harus kau miliki untuk menjadi orang yang tepat bagi pasanganmu?

Saturday, November 6, 2010

Bersyukurlah (Hitung Berkat-Berkatmu)

Beberapa waktu belakangan ini aku suka sekali mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan Jose Mari Chan. Salah satu lagu yang suka kudengar adalah Count Your Blessings…

Lagu tersebut sangat menyentil. Betapa aku seringkali mengeluh. Seringkali merasa tidak puas. Lalu aku teringat akan karya yang telah lama terlupakan ini

Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan,
Seandainya sudah,apalagi yang harus diinginkan?

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu segala ssesuatu,
Karena itu memberimu kesempatan untuk berusaha

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit,
Di masa itulah kamu bertumbuh

Bersyukurlah untuk keterbatasanmu,
Karena itu membarimu kesempatan untuk berkembang

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru,
Karena itu akan membangun kekuatan dan karektermu

Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat,
Itu akan mengajarkan palajaran yang berharga

Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih,
Karena itu berarti kamu telah membuat perbedaan


Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik. Hidup yang berkelimpahan datang kepada mereka yang juga bersyukur akan masa yang surut. Rasa syukur akan mengubahkan hal yang negatif menjadi positif. Temukan cara untuk bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkat bagimu

Aku hendak bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allahku, dengan segenap hatiku, dan memuliakan nama-Mu untuk selama-lamanya;

Mazmur 86:12

Better ( Not ) Late Than Never

Di sebuah pembukaan butik baru di mal baru, saya mengobrol dengan teman adik saya, yang kemudian menjadi teman saya juga.

Kami mengobrol melalui telepon genggam. Kami mengobrol tentang ayah kami masing-masing yang kebetulan terserang penyakit pada waktu bersamaan. Ayah teman saya diserang nyamuk yang membuat ia demam berdarah, ayah saya jantungnya diserang lemak atau apapun itu yang membuat beberapa pembuluh darahnya tersumbat.

Kami tak bicara soal kedua serangan itu, tetapi lebih mengobrol soal judul di atas, yang dikaitkan dengan "penghormatan" kami terhadap manusia bernama orangtua, dalam situasi pelik seperti saat mendapat serangan itu.

Awalnya, saya bercerita mengenai kondisi hubungan saya dengan ayah, sejak pertama kali saya terusik "surat edaran"tak tertulis soal peraturan rumah yang "ditandatangani" kepala keluarga, dengan tembusan kepada wakil kepala keluarga. Juga, sejak saya mampu tak lagi dikuasai pendapat kepala rumah tangga yang acapkali menimbulkan cipratan-cipratan api kecil.

Begitu banyak hal yang tak saya setujui, terutama masa remaja ketika datangnya sifat pemberontak yang meletup-letup dan susah dikekang. Namanya juga pemberontak, tak mungkin mau dikekang, bukan? Maka pertanyaan mengapa saya harus tidur siang sementara anak tetangga asyik bermain layangan, dan dengan lantang memanggil nama saya berkali-kali dari luar rumah sehingga ritual tidur siang saya tak hanya terganggu, tetapi memampukan saya melakukan tindakan melanggar surat edaran itu, sering datang di kepala saya.

Juga soal mengapa saya harus berenang kalau saya suka balet, mengapa saya harus tahu mobil kalau saya suka karate, mengapa saya harus dikumonkan kalau saya tidak mau dikumonkan. Bahkan, dari sejak sekolah dasar saya sudah bertanya kepada ibu saya, mengapa saya harus bersekolah kalau pelajaran Pancasila atau hitung-menghitung bisa saya dapatkan di dalam rumah sambil makan plecing kangkung. Dan sejuta permasalahan yang membuat saya merasa orangtua itu tak bedanya dengan sipir penjara.

Kalau tingkat kewarasan saya dalam keadaan memuncak, saya bisa mengerti orangtua tak bedanya seperti kata Candil bahwa rocker itu hanyalah manusia. Maksudnya, tak bisa bebas dari membuat kesalahan. Tetapi, hukum sosial umumnya mengharapkan orangtua kalau bisa tidak boleh punya kesalahan. Kasihan juga jadi orangtua, ternyata tertekan juga. Tak beda dengan anak-anaknya. Jadi, yang menekan dan yang ditekan ternyata juga punya beban yang sama.

Mirip Rocker

Teman saya memberi komentar sambil tertawa-tawa. Ia kemudian bertanya tentang masalah ayah saya yang sampai membuatnya tergeletak di bangsal rumah sakit. Bicara rumah sakit, selain untuk menampung dan mengobati orang sakit, juga membuat orang sakit bertambah sakit dengan suasananya yang terkadang tidak manusiawi dan perlakuan para pekerja rumah sakit-termasuk dokter- yang sami mawon, meski masih ada saja yang masuk ke dalam kelompok kecil sebagai kelompok yang baik budi.

Maka, kalau orang sakit masuk rumah sakit kemudian menjadi tambah sakit, mungkin itu bukan salah dokternya. Karena sudah sakit kok berani masuk rumah yang sakit. Mungkin mereka yang tidak manusiawi itu dapat juga berkata kepada saya, " Kami kan sama dengan rocker, cuma manusia." Manusia yang tidak manusiawi, maksudnya.

Setelah saya menjelaskan mengapa ayah saya sampai terbaring di rumah sakit, teman saya bertanya lagi, " Memang lo sendiri saja nungguin Bokap?"

Saya menjelaskan, saya ditemani Ibu. Kemudian ia menjelaskan, sekarang ia menunggui ayahnya lebih karena merasa bersalah, merasa telah membuang waktu untuk hanya memikirkan dirinya sendiri selama ini, dan tak banyak menyediakan waktu pada masa-masa lalu bersama ayahnya.

Ketika kadar trombosit ayahnya semakin rendah, perasaannya semakin bersalah. Ia bahkan mengatakan jangan sampai ayahnya game over ( istilah yang saya pinjam dari seorang ibu, pembaca parodi ini, melalui kartu ucapan yang mengharukan yang dikirimkannya kepada saya ), sebelum ia bisa melunasi perasaan bersalahnya. " Maka itu, gue ngejagaan Bokap meskipun gue capai banget karena setiap hari masih harus kerja," katanya.


Bayar Utang

Saya merasa sedih, tidak untuk cerita teman saya, tetapi saya sedih untuk diri saya sendiri yang tak ada bedanya dengan situasi teman tadi.

Kedua ayah kami sama-sama sakit, eh…anak-anaknya sama-sama sedang mencoba melunasi pembayaran utang-utangnya yang berpuluh tahun sudah menumpuk dan hendak dilunasi dalam waktu sekian minggu.

Dan pelunasannya mengambil tempat di dalam rumah sakit, tepatnya di kamar di mana seorang manusia bernama ayah sedang "terikat" selang oksigen dan infus, menatap orang yang selama ini dianggapnya mengasihi, dengan pandangannya lemah, letih, lelah, lesu.

Pembayaran utang itu kemudian diwujudkan dengan menjaga siang dan malam di bangsal rumah sakit, menyediakan apa saja yang dibutuhkan, menaikkan doa mencoba merayu Tuhan agar menyembuhkan. Padahal, dengan ayah sendiri saja saya jarang memiliki hubungan yang baik, apalagi dengan Sang Pencipta. Jadi, saya malah memborong dua rasa bersalah pada waktu bersamaan. Kepada Ayah dan kepada Sang Khalik.

Dan dengan melakukan semua itu, saya menjunjung tinggi dan mengaminkan ungkapan kondang dan klise : " better late than never ".

Padahal, kalau dipikir, itu cuma ungkapan banyolan saya saja karena tidak mau menerima rasa bersalah yang tak terbayarkan. Terlambat ya terlambat saja. Terlambat itu ya salah. Kalaupun keterlambatan itu bisa dibayarkan, itu juga tidak membuat saya yang terlambat menjadi tidak terlambat dan tidak bersalah. Saya tetap terlambat dan bersalah.

Dan bagaimana saya dapat membandingkan keterlambatan dengan kata never alias tidak sama sekali. Kedua hal yang berbeda bagaikan wajah saya dengan Ashton Kutcher. Jadi, terlambat dan tidak sama sekali tidak ada "better-better"-nya. Yang better adalah kalau saya tidak terlambat.

Semua itu karena saya mencoba menghilangkan perasaan bersalah secara instan, seperti sebuah iklan sabun cuci, pembersih noda yang mempu menghilangkan seketika. Teman saya bertanya, " Lo mau menghilangkan noda bersalah lo itu? "

Tentu saya menjawab dengan mengganggukkan kepala. Kemudian ia menjawab, " Gelek aja tuh sabun cuci. "

Oleh : Samuel Mulia

Seperti cerita Samuel di atas, saya pun teringat dengan orangtua saya terutama ayah saya. Selama hidup saya, tak pernah sekalipun saya membuat ayah saya bangga, membuat beliau senang, membuat beliau tertawa. Ketika ayah saya sakit, saya tidak ada di sampingnya. Bahkan saya tidak tahu bahwa ayah masuk rumah sakit sudah hampir seminggu karena stroke. Sejak saat itulah setiap saat saya menelepon ke rumah dengan alasan yang dibuat-buat padahal hanya untuk mengetahui keadaan rumah seperti apa. Jujur dalam hati, saya mengasihi orangtua saya, tetapi sejak dahulu saya tidak pernah akur dengan anggota-anggota keluarga di rumah. Mungkin hal itu disebabkan dengan sikap pemberontak, pembangkang, pemarah, dan mudah tersinggung saya. Tetapi setelah melewati proses yang tidak mudah akhirnya saya pada suatu titik di mana saya bisa tahu betapa berharganya sebuah keluarga.

Saya setuju dengan sebuah ungkapan : Keluarga seperti sebuah gurita, kita selalu berusaha lepas darinya. Namun kita tidak pernah lepas dari tentakel-tentakelnya.

Ke manapun kita melangkah. Seberapa jauhnya perjalanan kita. Ketika sudah capai, pada akhirnya kita akan kembali pulang ke suatu tempat yang namanya rumah dan sebuah kehangatan yang bernama keluarga

Pathway of Pain

If my days were untroubled and my heart always light,
would I seek that fair land where there is no light?

If I never grew weary with the weight of my load,
would I search for God’s peace at the end of the road?

If I never knew sickness and never felt pain,
would I search for a hand to help and sustain?

If I walked without sorrow and lived without loss,
would my soul seek solace at the foot of the cross?

If all I desired was mine day by day,
would I kneel before God and earnestly pray?

If God sent no winter fo freeze me with fear,
would I yearn for the warmth of spring every year?

I ask myself these and the answer is plain;
if my life were pleasure and I never knew pain,

I’d seek God less often and need Him much less,
for God is sought more often in times of distress

And no one knows and sees Him as plain as those
who have met Him on the Pathway of Pain

Author Unknown

Aku pernah membaca sebuah tulisan tentang seorang atheis yang bertanya jika memang ada Tuhan, mengapa ada penderitaan? Jika memang ada Tuhan mengapa ada kejahatan? Di manakah Tuhan?

Seringkali kita pun bertanya hal yang sama. Di manakah Tuhan? Kita berdoa namun tidak ada jawaban yang diterima. Apakah Tuhan benar-benar ada? Jika memang ada, mengapa Dia tidak menjawab doa kita? Apakah Tuhan itu tuli? Dia tidak bisa mendengar? Apakah Dia juga buta sehingga tidak bisa melihat penderitaan kita?

Tidak ada seorang pun yang bertemu dengan Tuhan namun hidupnya tidak berubah. Mari kita lihat Paulus. Dia yang dulunya pemburu jemaat menjadi rasul yang luar biasa bagi Kristus bahkan dia rela disiksa dan mati bagi Kristus. Kita bisa membaca pernyataannya yang sangat terkenal Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Filipi 1:21. Siapa lagi contoh lain? Penderitaan jangan lupakan Ayub yang dalam penderitaan masih bisa memuji Allah. "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"Ayub 1:21 dan walaupun sudah sangat menderita dan diminta oleh istrinya untuk mengutuki Allah malahan bisa berkata, "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"Ayub 2:10.

Aku masih ingat dengan jelas kata-kata adikku saat aku mulai mengeluhkan mengenai hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Seharusnya kamu senang karena menderita. Itu berarti Tuhan mengizinkan kamu merasakan apa yang Dia rasakan.

Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini. Ibrani 11:13

Ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan. Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik. Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung. Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik. Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan. Ibrani 11:35-40

Mungkin saat ini kita masih hidup dalam penderitaan dan kita belum melihat pemenuhan janji Allah, akan tetapi percayalah bahwa Yesus pergi untuk menyediakan suatu tempat buat kita.
Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ." Yohanes 14:1-4

Monday, November 1, 2010

Love Lead Me Back

Beberapa hari yang lalu, salah satu teman men-tag sebuah foto di facebook. Foto tersebut foto kenangan sewaktu kelas 2 SMA, saat ulang tahun wali kelas kami yang ketiga puluh lima. Entah mengapa foto itu membuatku menjadi melankolis. Membuatku kembali ke masa lalu yang kubenci sekaligus kurindukan. Ada saat-saat manis, namun tidak sedikit pula saat-saat pahit. Aku ingat semuanya itu seakan-akan peristiwa itu baru saja terjadi kemarin bukan tujuh tahun yang lalu. Kepingan-kepingan kenangan itu menyatu kembali membentuk suatu cerita.

Ruangan kelasku berada di bangunan baru yang terletak di sebelah kanan pintu gerbang sekolah. Bangunan baru tersebut terdiri atas dua lantai dengan empat ruangan kelas dan kelasku sendiri yakni kelas 2.1 berada di lantai atas bersebelahan dengan kelas 2.2. Karena sekolahku adalah sekolah negeri, maka tidak heran jika murid warga keturunan Chinese di kelas 2.1 hanya ada dua orang termasuk aku.

Dulu... Kelasku sangat kompak. Kami sering melakukan hal-hal gila. Membuang tas keluar melalui tembok pagar belakang sekolah lalu diam-diam kabur saat tidak dilihat penjaga sekolah. Kami sering kumpul-kumpul buat masak dan makan bersama.

Aku ingat pada teman karib sekaligus teman sebangku. Kami sangat kompak dalam menyontek. Karena badanku cukup besar, aku menghalangi penglihatan guru sementara dia membuka buku.

Bercerita tentang masa-masa sekolah, aku tidak akan lupa pada seseorang yang begitu berkesan. Berkesan karena dia adalah tetanggaku dan telah menyukaiku sejak masih sekolah dasar. Dia sangat sering menggangguku dengan kiriman salam melalui teman-temannya juga dengan lagu-lagu dan tarian-tarian India. Dia sangat suka bertingkah seakan-akan dia adalah tokoh utama pria dan aku tokoh utama wanita dalam film India. Sejujurnya aku sangat terkesan padanya. Sampai saat ini belum pernah ada yang menyukaiku segila dan selama dia. Sejak masih kelas satu sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Baru saja kemarin aku meng-confirm salah satu orang yang pernah kusukai. Aku tertawa sewaktu salah seorang teman lama mengatakan dia adalah pacarku sewaktu SMA. Hal itu tidaklah benar walaupun kami pernah cukup dekat. Dia sangat pintar Fisika serta Matematika dan aku sering menyalin tugas-tugasnya. Aku tertawa karena dia melamarku kemarin dan aku harus menerima lamarannya itu. Sewaktu aku menanyakan mengapa aku harus menerima lamarannya, dia menjawab karena dulu dia sering memberi contekan padaku. Orang yang sungguh aneh. Apa hubungannya menerima lamaran dengan contekan? Yang aku tahu, dia banyak berubah. Sudah tidak seperti orang kusukai dulu. Mungkin boleh dikatakan, aku tidak menyukai perubahan yang terjadi padanya.

Saling memberi komentar foto di facebook. Saling melempar olokan. Mungkin hal itu akan menjadikan seseorang menjadi dekat. Dia berubah. Menjadi lebih baik dan responsif padaku tidak seperti dulu. Dulu aku memang menyukainya. Menyukainya dengan perasaan remaja. Tapi tidak demikian sekarang. Perasaan itu kutinggalkan bersama berlalunya masa SMA. Tidak akan ada kisah masa lalu yang terulang.

Masa SMA tidak bisa lepas darinya. Dia kembali seperti hantu yang menakutkan. Kembali melakukan pendekatan-pendekatan padaku. Yang bisa kulakukan hanyalah bersikap sopan dan bersahabat. Hanya itu. Tidak lebih. Seharusnya aku benci padanya tapi tidak kulakukan. Walaupun pernah menyakiti hatiku, tapi aku tidak pernah menyimpan kebencian padanya dan tidak pula menyimpan cinta padanya.

Banyak hal yang bisa kuceritakan. Tentang betapa jahatnya aku pada adik-adikku dan kedua orangtuaku. Betapa aku sering memberontak melawan papa mama. Menyakiti hati mereka. Betapa aku tidak akur dengan adik-adikku.

Bisa kuceritakan kegagalan-kegagalan maupun hinaan-hinaan yang kuterima. Bisa kukatakan bahwa kehidupan membentuk aku dengan keras. Mengajari betapa salahnya aku. Betapa hina dan berdosanya aku. Betapa aku sangat jahat dan hatiku menyimpan kebusukan. Bisa pula kukatakan bahwa Allah begitu baik. Amat sangat baik padaku. Dia sangat mengasihiku sekalipun aku jahat. Amat sangat jahat.

Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku tidak pernah berubah, tetapi hal itu tidaklah benar. Tuhan menggunakan waktu, lingkungan, pengalaman membentuk pribadi setiap orang, salah satunya diriku. Aku berubah.

Ingin sekali kukatakan bahwa aku benci hidupku. Benci masa laluku. Menyesali semua hal yang terjadi di waktu lampau. Jika aku mengatakan hal itu berarti aku berbohong. Aku mencintai hidupku. Tidak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi. Ingin pula kukatakan bahwa aku menderita. Aku tidak mempunyai banyak teman. Itu pun tidak benar. Mungkin memang sudah bawaan dari lahir, aku mudah berteman dengan orang lain sehingga teman-temanku cukup banyak dan mereka dapat menerimaku sekalipun aku berbeda. Mereka pribumi sementara aku warga keturunan Chinese.

Ingin pula kukatakan bahwa mereka dulu jahat padaku. Mereka tidak pernah menganggapku teman. Tapi itu tidaklah benar. Kenyataannya mereka baik padaku. Akulah yang membangun tembok dengan orang-orang. Aku tinggal di dalam lingkaran yang kubuat. Tidak pernah kuizinkan dan kurasa pantas untuk orang-orang masuk dalam hatiku dan tinggal di dalamnya. Ya... Aku orang yang egois, keras kepala dan keras hati. Aku hanya mencintai diriku sendiri. Seperti itulah aku sampai aku bertemu dengan Kristus. Tidak ada orang yang bertemu pada-Nya dan tidak berubah. Dia membuka lingkaran dan meruntuhkan tembok yang kubuat. Setiap kali aku lari dan mulai membangun tembok Yeriko-ku, Dia selalu menuntunku kembali ke rumah. Love lead me back...

Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

Roma 5:6-8

Greatest Love Story

Wuih... Udah lama y ga posting tulisan lagi. Hohoho... Sepertinya Tuhan tidak memberikan inspirasi untuk menulis (sekarang sih udah ada 1 ide ok ntar akan dituangkan dalam bentuk tulisan dan sharing langsung). Hmm... Hari ini aku posting tulisan karena kmrn seseorang bertanya kepadaku kenapa tidak kirim email lagi... :)

Ada dua topik yang begitu hangat di dalam kehidupanku saat ini.
1. Mengenai dokter yang misioner (panggilan hidup)
2. Cinta (Pasangan hidup)

Aku menuliskan tulisan mengenai cinta bukan berarti topik tersebut lebih penting daripada topik panggilan hidup melainkan karena tulisan ini sudah pernah diposting sebelumnya di friendster tinggal diedit sehingga lebih baik. Tulisan mengenai panggilan hidup masih dalam kerangka pikiran. Perlu disusun dengan lebih baik. Hehehe...

Suatu ketika, aku bersama seorang teman pernah menonton MV lagu dari Kiss (nama penyanyi). Lagu tersebut bercerita mengenai seorang cowok yang mendonorkan matanya kepada kekasihnya yang matanya buta akibat tidak sengaja menumpahkan cairan berbahaya ke matanya. Teman tersebut berkomentar, mengapa dia tidak memberikan sebelah matanya saja sehingga mereka masing-masing mempunyai sebelah mata yang dapat melihat. Dengan demikian keduanya bisa bersama. Kisah itu pun dapat berakhir dengan bahagia.
Mari kita belajar dan merenungkan mengenai lagu dan perkataan temanku itu.
Seandainya kita mencintai seseorang, apakah kita tidak akan memberikan bagian/hal terbaik dalam hidup kita buat orang yang kita cintai? Tentu saja kita akan memberikan yang terbaik bukan?

Ayo kita bandingkan kisah cinta di atas dengan kisah cinta yang terjadi 2000 tahun lebih di Golgota. Mari kita renungkan Yesaya 53

Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar,
dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?
Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN
dan sebagai tunas dari tanah kering.
Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia,
dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.
Ia dihina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan;
ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia
dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya,
dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,
padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.
Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita,
dia diremukkan oleh karena kejahatan kita;
ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya,
dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Kita sekalian sesat seperti domba,
masing-masing kita mengambil jalannya sendiri,
tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.
Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas
dan tidak membuka mulutnya
seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian;
seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.
Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil,
dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?
Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup,
dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.
Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik,
dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat,
sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya.
Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan.
Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah,
ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut,
dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya.
Sesudah kesusahan jiwanya
ia akan melihat terang dan menjadi puas;
dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar,
akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan,
dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan,
yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut
dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak,
sekalipun ia menanggung dosa banyak orang
dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak

Menurutmu diantara kedua kisah tersebut di atas, manakah yang menceritakan kisah cinta yang paling besar? Kisah pertama atau kisah kedua? Mari kita beri perbandingan.

Kisah pertama : memberikan mata buat orang yang dicintainya

Kisah kedua : mati buat orang yang dicintai-Nya sekalipun orang yang dicintai tersebut tidak layak menerima pengorbanan sebesar itu

Sungguh ironis... Manusia seringkali meneteskan airmata untuk cinta yang semu. Cinta yang bisa memudar seiring dengan berjalannya waktu. Mereka seringkali lupa dan tidak menghargai cinta yang tak lekang oleh situasi dan waktu. Cinta yang tak pernah berubah dahulu, sekarang, maupun masa mendatang. Kita seringkali lupa mengenai cinta dan pengorbanan Kristus di kayu salib buat kita.

Mari kita renungkan dan mengingat kembali Cinta Pertama dan Terbesar dalam hidup kita. Jangan pernah menggantikannya dengan apapun.

Ketika saat ini kita tidak setia, segera kembali pada-Nya karena Dia memiliki kasih agape

Selamat merenungkan. Tuhan Yesus memberkati

Monday, September 13, 2010

Gaun Yang Tak Terbeli (God Will Make A Way)

Kejadian ini sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu dan mungkin pernah kuceritakan pada beberapa orang. Aku menuliskan kembali kisah ini karena prihatin terhadap cerita seseorang mengenai sahabatnya. Perlu kututurkan di awal bahwa notes ini tidak ada maksud untuk menyinggung siapapun. Tidak pula bermaksud menggurui karena aku pun bukan orang yang sempurna. Notes ini hanya sebagai bahan renungan. Aku berdoa agar apapun yang aku tulis dapat bermanfaat bagi orang lain karena aku suka sekali menulis.


"... jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!" Kidung Agung 3:5


Pada suatu sore saat berjalan-jalan di mall, aku melihat sebuah gaun terpajang di etalase sebuah toko. Gaun itu berwarna putih dan sangat indah. Karena tertarik dengan gaun tersebut, aku masuk ke dalam toko. Bermaksud untuk mencobanya. Apabila cocok, aku akan membelinya. Ketika mencobanya, ternyata gaun itu pas dan tampak cantik saat kupakai. Harganya 300 ribu lebih. Tiga ratus ribu lebih, mungkin bagi sebagian orang jumlah itu bukanlah jumlah yang besar, namun bagiku tiga ratus ribu bisa dipakai untuk membayar kos selama sebulan dan makan beberapa hari. Akhirnya aku tidak jadi membeli gaun tersebut. "Jika memang gaun itu ditakdirkan menjadi milikku, bagaimana pun caranya gaun itu pasti kumiliki." Setiap kali lewat di depan toko tersebut aku bertanya-tanya. "Apakah gaun itu sudah terjual? Siapakah yang telah membelinya?"


Saat gaun itu sudah terlupakan...


Sebulan lagi saudara sepupuku akan menikah. Mama dan adik perempuanku minta dibelikan tas dan gaun untuk dipakai pada pernikahan saudara sepupuku itu. Karena itulah kuluangkan waktu ke Mangga Dua untuk mencarikan mereka gaun dan tas. Setelah agak lama mencari, sampailah aku di sebuah toko. Toko itu terletak di lantai paling atas dan di tempat yang agak terpencil. Toko itu mungkin akan terlewati begitu saja jika tidak diperhatikan dengan seksama.


Aku melihat-lihat gaun-gaun yang terpajang di toko tersebut. Dua sampai tiga gaun diturunkan untuk diperlihatkan padaku sebelum aku melihat gaun itu. Gaun itu mirip dengan gaun yang dulu kuinginkan. Gaun yang kuinginkan dulu itu halter neck dan berwarna putih sedangkan gaun ini setali berwarna merah. Persamaan antara kedua gaun ini adalah rok dan pita di pinggangnya (Maaf aku tidak begitu pandai menggambarkan sebuah gaun). Yang membedakannya lagi adalah gaun merah ini setengah harga lebih murah dari gaun putih tersebut. Akhirnya selain membelikan adikku gaun, aku juga membelikan diriku gaun.


Kisah kedua


Aku pernah mendapat sebuah sms dari seorang teman mengenai bis. Cinta itu ibarat menantikan bis. Ketika bis pertama berhenti di depanmu, namun kamu tidak naik karena bis tersebut panas. Lalu bis kedua datang, namun kamu juga tidak naik karena terlalu sesak. Bis ketiga yang lewat pun kamu tidak naik karena bis tersebut kotor. Saat kamu kehabisan waktu, tidak ada bis lagi yang lewat.


Sms tersebut kubalas begini. "Kalau tidak ada lagi bis yang lewat, aku akan telpon teman untuk dijemput atau aku akan jalan kaki."


Aku tahu teman yang mengirimkan sms tersebut bermaksud baik. Dia tidak ingin aku terlalu pemilih hingga akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Namun benarkah semudah itu memilih pasangan hidup? Asal comot saja tanpa doa dan pertimbangan yang matang.


Kisah gaun yang tak terbeli itu mengajarkanku tentang kesabaran. Kita seringkali tidak sabar dalam menantikan pasangan hidup dari Tuhan. Kita asal memilih orang yang menyukai kita karena kita takut kehabisan waktu, kita iri dengan teman-teman yang telah punya pacar/menikah. Ketika aku sabar, akhirnya aku memiliki gaun yang kuinginkan.


Mari kita belajar tentang kesabaran... Kesabaran akan pemenuhan janji Allah dalam hidup kita...Sambil menantikan pemenuhan janji, jadikanlah dirimu layak bagi Allah karena sebenarnya cinta pertamamu harusnya kamu berikan pada Allah.


"Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya." Pengkhotbah 3:1


Ini ku-copy paste dari notes adikku, Jeng Seriana


My Prayer


Lord, I pray for a man, that will be a part of my life

A man that really loves You more than everything

A man that will put me in the second place of his heart

A man that lives not for himself but for You

The most important is I want a heart that really loves and thirsty of You

and has a desire to be like Jesus



And he must know for whom and for what he lives

so his life isn’t useless

Someone that has a wise heart, not only a smart brain

A man that not only loves me but also respect me

A man that not only adores me but can warn me when I’m wrong

A man that loves me not because my beauty but my heart

A man that can be my best friend in everytime and situation

A man that can make me feel like a woman when I’m beside him



But I ask for imperfect man

so I can make him perfect in Your eyes

A man that needs my support for his strength

A man that needs my prayers for his life

A man that needs my smile to cover his sadness

A man that needs my love so he feels being loved

A man that need me to make his life beautiful



And I also ask make me to be a woman

that can make him proud

Give me a heart that really loves You

so I can love him with Your love

And not love him only with my love

Give me Your gentle spirit

so my beauty not come from my outside but come from You

Give me Your hands, that I am always able to pray for him



Give me Your eyes

so I could see many good thing in him and not the bad one

Give me your mouth

That filled with Your words of wisdom and encouragement

so I can support him everyday

Give me Your lips

And I will smile at him every morning



And I want that finally we meet

Both of us can say How great Thou art

That You give me some one that can make my life perfect

I know that You want us to meet at the right time

And You will make everything beautiful in Your time



Amen

Tuesday, August 31, 2010

Jika Kau Berpikir Jauh Ke Depan

Pengamen bukan suatu pemandangan baru lagi di Jakarta ini. Hampir di seluruh pelosok ibukota ini ada pengamen. Bukan hanya di Jakarta saja, pengamen sudah merambat ke Bandung, dan bahkan yang tak saya sangka sampai ke Makassar. Kalau hanya sekedar nyanyi dan meminta bayaran seikhlasnya sih tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah pengamen bukan hanya mengamen saja, namun juga berpraktek sebagai pemalak bahkan penodong. Kejadian ini tiga kali saya alami dalam bis arah Senen-Islamic. Pengamen tersebut mengancam dengan kasar dan menggunakan pisau lipat. Kali pertama itu karena takut saya memberikan uang seribu rupiah. Kali kedua dan ketiga sewaktu diancam, saya sudah tidak takut lagi. Mau bunuh, silahkan bunuh saja. Saya tidak takut. Bahkan tatapannya saya balas dengan tatapan yang lebih mematikan lagi. Jika tampak takut, dia/mereka akan lebih berani lagi.

Berbicara mengenai pengamen, pada beberapa waktu lalu saya pernah pelayanan ke mereka dalam bentuk mengajarkan pelajaran sekolah. Waktu itu saya mengajarkan seorang anak perkalian dua dan tiga. Selama hampir dua jam belajar, namun dia tidak bisa juga menghafalkan. Mengalami hal itu, saya berkata dalam hati. "Mengapa menghafal perkalian dua dan tiga saja sulit sekali padahal di sekolah pun telah diajari, namun menghafalkan lagu-lagu untuk dinyanyikan pada saat mengamen sangat cepat?"

Mengamen untuk bertahan hidup atau belajar, manakah yang penting? Kalau kau bertanya pada anak-anak tersebut, mereka tentu saja akan menjawab "Ngamen." Hal sama kau tanyakan pada diri saya, mungkin akan saya jawab dengan jawaban yang sama seperti anak-anak itu.

Mengamen menghasilkan sesuatu yang dapat segera dilihat, dalam hal ini tentu saja uang. Didapat dengan mudah dan cepat. Cukup bermodalkan suara, lagu, tepukan tangan, dan tangan yang menengadah. Sebaliknya, sekolah itu sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasilnya. Harus melewati taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/kejuruan. Itu pendidikan minimal untuk diterima kerja dan hasilnya pun tidak seberapa. Untuk mendapatkan lebih dari itu, harus melewati perguruan tinggi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah lulus pun tidak mungkin langsung bisa diterima kerja dan mendapatkan hasil yang berkelimpahan. Bila dilihat dari sudut pandang seperti itu, mengamen lebih menjanjikan daripada sekolah.

Benarkah seperti itu? Mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah hal ini dalam konteks jauh ke depan dan lebih luas. Apakah yang mereka dapatkan di jalanan? Anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tidak takut akan Tuhan padahal takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Pengetahuan bahwa merokok dalam jangka waktu panjang akan merusak kesehatan. Pengetahuan bahwa seks bebas akan menyebabkan penyakit menular seksual. Selain itu seks bebas sebagian besar menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dari situlah terjadi aborsi yang bukan hanya membahayakan ibu tapi juga janin. Pengetahuan bahwa pemakaian obat-obatan terlarang memang memberi kenikmatan namun hanya sementara. Pemakai obat-obatan terlarang menjadi ketagihan. Dosis semula menjadi tidak memuaskan. Semakin hari dosis semakin meningkat. Semakin meningkat dosis, butuh semakin banyak pula uang untuk membelinya. Dari mana uang tersebut didapat? Apakah hasil ngamen bisa menutupi kebutuhan tersebut? Tentu saja tidak. Bagaimana untuk mendapatkan uang lebih? Menodong, mencopet, mencuri, merampok menjadi pilihan selanjutnya. Pengetahuan bahwa mabuk-mabukan itu berbahaya. Merusak kesehatan, membuat diri tidak awas dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Orang mabuk ditabrak. Bukan hal biasa lagi dibaca di koran-koran dan disiarkan di televisi. Apakah ada yang bertahan di jalanan dan menjadi sukses? Sukses dengan jalan yang bersih tentunya. Bukankah lebih banyak dari mereka yang berakhir dengan kematian? Sungguh sedih mereka menempatkan diri sendiri dalam lingkaran setan.

Sayangnya hanya sedikit yang mau melepaskan diri dari lingkaran setan ini. Belajar. Bersekolah. Memperbaiki diri. Membuat hidup menjadi lebih baik. Mereka lebih memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan.

Bagaimanakah nasib bangsa ini ke depan jika generasi mudanya memilih untuk tidak takut akan Tuhan, memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan?

Thursday, August 26, 2010

Sebuah Refleksi : Koas Di Mata Koas - Ketika Kau Mengucapkan Sumpahmu

Hippocratic Oath


Original, translated into English
“ I swear by Apollo, the healer, Asclepius, Hygieia, and Panacea, and I take to witness all the gods, all the goddesses, to keep according to my ability and my judgment, the following Oath and agreement:
To consider dear to me, as my parents, him who taught me this art; to live in common with him and, if necessary, to share my goods with him; To look upon his children as my own brothers, to teach them this art.
I will prescribe regimen for the good of my patients according to my ability and my judgment and never do harm to anyone.
I will not give a lethal drug to anyone if I am asked, nor will I advise such a plan; and similiarly I will not give a woman a pessary to cause an abortion.
But I will preserve the purity of my life and my arts.
I will not cut for stone, even for patients in whom the disease is manifest; I will leave this operation to be performed by practitioners, specialists in this art.
In every house where I come I will enter only for the good of my patients, keeping myself far from all intentional ill-doing and all seduction and especially from the pleasures of love with woman or with men, be they free or slaves.
All that may come to my knowledge in the exercise of my profession or in daily commerce with men, which ought not to be spread abroad, I will keep secret and will never reveal.
If I keep this oath faithfully, may I enjoy my life and practice my art, respected by all men and in all times; but if I swerve from it or violate it, may the reverse be my lot.”

Classic

Classic translation of the English:

I swear by Apollo the Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the gods, and goddesses, making them my witnesses, that I will fulfill according to my ability and judgment this oath and this covenant:
To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard his offspring as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art–if they desire to learn it–without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all the other learning to my sons and to the sons of him who has instructed me and to pupils who have signed the covenant and have taken the oath according to medical law, but to no one else.
I will apply dietic measures for the benefit of the sick according to my ability and judgment; I will keep them from harm and injustice.
I will neither give a deadly drug to anybody if asked for it, nor will I make a suggestion to this effect. Similarly I will not give to a woman an abortive remedy. In purity and holiness I will guard my life and my art.
I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in favor of such men as are engaged in this work.
Whatever houses I may visit, I will come for the benefit of the sick, remaining free of all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female and male persons, be they free or slaves.
What I may see or hear in the course of treatment or even outside of the treatment in regard to the life of men, which on no account one must spread abroad, I will keep myself holding such things shameful to be spoken about.
If I fulfill this oath and do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and art, being honoured with fame among all men for all time to come; if I transgress it and swear falsely, may the opposite of all this be my lot.

Modern Version

I swear to fulfill, to the best of my ability and judgment, this covenant:
I will respect the hard-won scientific gains of those physicians in whose steps I walk, and gladly share such knowledge as is mine with those who are to follow.
I will apply, for the benefit of the sick, all measures [that] are required, avoiding those twin traps of overtreatment and therapeutic nihilism.
I will remember that there is art to medicine as well as science, and that warmth, sympathy, and understanding may outweigh the surgeon's knife or the chemist's drug.
I will not be ashamed to say "I know not," nor will I fail to call in my colleagues when the skills of another are needed for a patient's recovery.
I will respect the privacy of my patients, for their problems are not disclosed to me that the world may know. Most especially must I tread with care in matters of life and death. If it is given to me to save a life, all thanks. But it may also be within my power to take a life; this awesome responsibility must be faced with great humbleness and awareness of my own frailty. Above all, I must not play at God.
I will remember that I do not treat a fever chart, a cancerous growth, but a sick human being, whose illness may affect the person's family and economic stability. My responsibility includes these related problems, if I am to care adequately for the sick.
I will prevent disease whenever I can, for prevention is preferable to cure.
I will remember that I remain a member of society, with special obligations to all my fellow human beings, those sound of mind and body as well as the infirm.
If I do not violate this oath, may I enjoy life and art, respected while I live and remembered with affection thereafter. May I always act so as to preserve the finest traditions of my calling and may I long experience the joy of healing those who seek my help.

Salah satu profesi yang sangat menjanjikan ketenaran dan kekayaan adalah dokter. Sudah menjadi anggapan publik bahwa dokter pastilah kaya. Karena itulah banyak orang berlomba-lomba ingin masuk ke fakultas kedokteran. Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari cara yang lurus misalnya rajin belajar sampai mengambil les privat maupun cara yang tidak benar misalnya menyogok. Semua orang bisa menjadi dokter, namun tidak semua orang bisa menjadi dokter yang berintegritas dan takut akan Tuhan.

Menjadi dokter tidaklah mudah. Kau harus menjalani pendidikan yang lama, sekitar 5-6 tahun. Setelah menempuh program pendidikan dokter di mana kau belajar teori-teori medis lalu menjalani program profesi dokter di mana kau mempraktikkan ilmu yang didapat selama kuliah barulah kau dapat disahkan menjadi seorang dokter. Sebelum menyandang gelar dokter, kau harus mengucapkan Sumpah Dokter atau yang lebih dikenal dengan Hippocratic Oath.
Begitu selesai mengucapkan Sumpah Dokter, apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Kekayaan dan ketenaran akan mengikuti? Apakah benar menjadi dokter itu enak? Aku pikir tidak. Pernahkah kau menyadari dengan mengucapkan sumpahmu, sumpah itu terikat juga di surga?

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. Matius 18:18

Jadi sesungguhnya, menjadi seorang dokter itu bukannya enak namun kau memikul sebuah beban berat di pundakmu. Namun sayangnya tidak banyak dokter yang sungguh-sungguh melakukan apa yang telah dia sumpahkan. Mereka tidak bisa menjalankan Firman Tuhan seperti yang tertulis dalam Matius 5:33

Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.

Sebelum kau mengucapkan sumpahmu, pikirkanlah semuanya dengan matang... Mau jadi dokter yang seperti apakah dirimu?

Wednesday, August 25, 2010

Lesson For Today : Pak Satpam Di Kompleks Kosku

Wuih... Segar rasanya sudah selesai mandi. Sambil memikmati potongan-potongan melon orange, aku mengecek email-email yang masuk, membuka facebook, meng-update status, membalas dan mengirim sms, serta tak lupa memikirkan kalimat apa yang seharusnya kutulis.

Hmm... Banyak hal menarik yang terjadi hari ini sejak pukul 06.45 pagi sampai pukul 09.00 malam aku balik ke kos. Hari ini cukup sibuk. Mulai dari menggodai anak kecil lucu yang berjalan-jalan bersama kakeknya di kompleks; kerjaan di puskesmas; ketinggalan bis pulang (Syukurlah aku ketinggalan bis sehingga aku bisa makan siang dulu. Kalau tidak, mungkin sampai malam aku belum makan); ke bank menyetor uang untuk membayar tagihan listrik dan gaji pembantu; retur dan membeli sneli buat teman; mengambil obat-obatan buat keluarga binaan lalu balik pulang.

“Huh... Udara panas banget hari ini.” Keluhku dalam hati. Udara Jakarta hari ini seperti biasanya tidak pernah bersahabat dengan siapa saja. Berdebu dan panas.

“Bang... Cepetan jalan dong. Jangan lama-lama. Di sini panas banget.” Seru seorang ibu yang duduk di sebelahku. Namun tampaknya sopir bis tidak mendengarkannya. Sopir itu masih dengan setia menunggu bisnya dipenuhi penumpang melebihi kapasitas.

“Dek... Berapa harga koran Media Indonesia?” Tanya ibu tadi kepada seorang penjual koran yang masuk ke dalam bis.

“Dua ribu.” Jawab penjual koran itu.

“Saya beli satu.” Ibu itu menyodorkan selembar uang dua ribuan. Awalnya kupikir ibu itu mau mengisi waktunya dengan membaca koran sembari menunggu bis jalan, namun rupanya aku salah. Ibu itu menggunakan koran tersebut untuk mengipas-ngipasi dirinya supaya sejuk. Puji Tuhan... Di tengah panasnya cuaca, aku kecipratan rezeki merasakan kesejukan kipasan koran si ibu. Aku tertawa dalam hati melihat kelakuannya sembari berpikir. “Sepertinya hari ini akan hujan.” Tak lama kemudian, setelah keluar dari tol kebun jeruk rintik-rintik hujan mulai membasahi kaca jendela depan bis. Rintik-rintik itu lalu berubah menjadi deras. Sekali lagi aku tertawa dalam hati. “Sepertinya Tuhan tahu kalau hari ini aku lengket, gerah sekali, dan mau keramas nanti setelah sampai di kos.”

Dalam bis, aku memikirkan bagaimana cara meminimalkan kebasahan yang paling baik? Apakah aku harus menggunakan angkot putih, turun di mal lalu naik shuttle bis ke kos? Ataukah naik angkot putih, turun di depan jalanan masuk lalu berjalan kaki ke kos? Ternyata setelah dipikir dengan baik, apapun cara yang kugunakan, aku tetap saja akan basah. Akhirnya aku menggunakan pilihan kedua.

Singkat cerita, tibalah aku di depan jalanan masuk kompleks kos. Di depan jalanan masuk itu ada pos satpam. Seperti biasa, kami saling bertukar salam. “Selamat malam.”

Sambil berjalan ke kos, entah mengapa aku memikirkan mengenai satpam itu. Pikiran itu mengantarkanku pada sebuah ingatan lama mengenai satpam di kos yang pertama kali kutempati saat mulai kuliah.

Mungkin ada sekitar dua tahun aku tinggal di kos pertama itu. Setiap hari, aku bertukar salam dan kabar dengan satpam-satpam di sana. Jujur... Walaupun sering bertemu, bertukar salam dan kabar, aku tidak pernah ingat mereka secara khusus. Tapi rupanya mereka tidak seperti aku yang dengan mudah melupakan. Mereka masih ingat aku.

“Selamat sore Non.” Begitulah sapaan yang kuterima saat melangkah masuk ke dalam kompleks perumahan tempat adik-adik kelasku kos.

“Sekarang tinggal di sini ya... Pantesan saya sudah tidak pernah lihat lagi.” Aku terkejut. Dia mengenaliku. Apakah aku mengenalinya? Lama kupandangi dirinya sambil berusaha mengembalikan ingatanku. Di mana aku mengenal dirinya? Dia lalu mengenalkan dirinya sebagai satpam di kompleks perumahan tempat kosku dulu.

Bukan hanya sekali kejadian yang berhubungan dengan satpam itu terjadi. Di kompleks perumahan tempat seorang teman tinggal, aku dikenali oleh satpam kompleks perumahan kosku yang lama. Satpam itu dipindah tugaskan ke sana. Kejadian serupa juga pernah terjadi di dalam angkot, satpam itu mengenaliku sementara aku lupa padanya.

Menjadi Terkenal

Keong Racun... Lagu itu sempat marak akhir-akhir ini di media massa. Lipsync yang dibawakan oleh Sinta dan Jojo dan di-upload di Youtube membuat keduanya terkenal. Mereka bahkan telah dikontrak untuk menjadi artis. Apakah menjadi terkenal menjadi sedemikian pentingnya?

Realitanya memang seperti itu. Menjadi terkenal sangat penting. Lebih baik dikenal daripada mengenali. Karena itu setiap orang berlomba-lomba membuktikan dirinya eksis di dunia ini. Segala cara dilakukan untuk membuat diri terkenal bahkan termasuk melakukan hal-hal yang tidak benar.

Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya. Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul. Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak (Yesaya 53:1-12)

Dan...

Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: "Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam," maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang. Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau. (Mazmur 139:1-18)

Bagaimana korelasi antara kisah satpam, Jojo dan Sinta dengan ayat di atas...? Jika direnungkan secara lebih mendalam, akan ditemukan sebuah ironi…

Allah mengenal kita. Dia mengenal kita bahkan sebelum kita dibentuk. Dia sudah merancangkan semua yang baik untuk kita. Bagaimana dgn kita sendiri?

Oh... Sungguh menyedihkan... Kita tidak mengenali-Nya. Kita mendukakan hati-Nya. Karena dosa kitalah sehingga Kristus mengalami penganiayaan bahkan mati disalib.

Refleksi

Bagaimana hubungan pribadi kita selama ini dengan Allah? Apakah kita menyediakan waktu untuk bertemu dengan-Nya? Berkomunikasi dengan-Nya? Mencari tahu kehendak-Nya?

Sebagai pkk, pengurus. Apakah kita sudah menyediakan waktu untuk orang-orang yang kita layani? Apakah kita mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka bukan memuaskan keinginan kita akan kesombongan rohani?

Sebagai anggota keluarga. Bagaimana hubungan kita dengan keluarga kita? Apakah kita mengenali secara pribadi masing-masing anggota keluarga kita?

Secara sosial. Apakah kita mengetahui peranan kita di masyarakat? Masyarakat dan negara butuh apa? Apa yang bisa berikan untuk mereka yang membutuhkan? Bukan hanya kebutuhan akan materi namun juga kebutuhan akan Injil. Bagaimana hubungan kita dengan teman-teman? Sudahkah kita menjadi sahabat yang baik?