Welcome...

Selamat datang di blog saya. Senang sekali ada yang mau berkunjung. Mencoba menjadi penulis yang baik. Menuliskan topik yang terjadi di sehari-hari berdasarkan pengalaman pribadi, lumayan panjang (walaupun capek mikir dan ngetik wakakaka...), inspiratif, informatif, dan tidak membosankan pembaca (karena saya males baca sebenarnya)... Semoga blog ini bermanfaat buat semua yang mampir. Terima kasih... :)

Saturday, November 6, 2010

Bersyukurlah (Hitung Berkat-Berkatmu)

Beberapa waktu belakangan ini aku suka sekali mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan Jose Mari Chan. Salah satu lagu yang suka kudengar adalah Count Your Blessings…

Lagu tersebut sangat menyentil. Betapa aku seringkali mengeluh. Seringkali merasa tidak puas. Lalu aku teringat akan karya yang telah lama terlupakan ini

Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan,
Seandainya sudah,apalagi yang harus diinginkan?

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu segala ssesuatu,
Karena itu memberimu kesempatan untuk berusaha

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit,
Di masa itulah kamu bertumbuh

Bersyukurlah untuk keterbatasanmu,
Karena itu membarimu kesempatan untuk berkembang

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru,
Karena itu akan membangun kekuatan dan karektermu

Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat,
Itu akan mengajarkan palajaran yang berharga

Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih,
Karena itu berarti kamu telah membuat perbedaan


Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik. Hidup yang berkelimpahan datang kepada mereka yang juga bersyukur akan masa yang surut. Rasa syukur akan mengubahkan hal yang negatif menjadi positif. Temukan cara untuk bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkat bagimu

Aku hendak bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allahku, dengan segenap hatiku, dan memuliakan nama-Mu untuk selama-lamanya;

Mazmur 86:12

Better ( Not ) Late Than Never

Di sebuah pembukaan butik baru di mal baru, saya mengobrol dengan teman adik saya, yang kemudian menjadi teman saya juga.

Kami mengobrol melalui telepon genggam. Kami mengobrol tentang ayah kami masing-masing yang kebetulan terserang penyakit pada waktu bersamaan. Ayah teman saya diserang nyamuk yang membuat ia demam berdarah, ayah saya jantungnya diserang lemak atau apapun itu yang membuat beberapa pembuluh darahnya tersumbat.

Kami tak bicara soal kedua serangan itu, tetapi lebih mengobrol soal judul di atas, yang dikaitkan dengan "penghormatan" kami terhadap manusia bernama orangtua, dalam situasi pelik seperti saat mendapat serangan itu.

Awalnya, saya bercerita mengenai kondisi hubungan saya dengan ayah, sejak pertama kali saya terusik "surat edaran"tak tertulis soal peraturan rumah yang "ditandatangani" kepala keluarga, dengan tembusan kepada wakil kepala keluarga. Juga, sejak saya mampu tak lagi dikuasai pendapat kepala rumah tangga yang acapkali menimbulkan cipratan-cipratan api kecil.

Begitu banyak hal yang tak saya setujui, terutama masa remaja ketika datangnya sifat pemberontak yang meletup-letup dan susah dikekang. Namanya juga pemberontak, tak mungkin mau dikekang, bukan? Maka pertanyaan mengapa saya harus tidur siang sementara anak tetangga asyik bermain layangan, dan dengan lantang memanggil nama saya berkali-kali dari luar rumah sehingga ritual tidur siang saya tak hanya terganggu, tetapi memampukan saya melakukan tindakan melanggar surat edaran itu, sering datang di kepala saya.

Juga soal mengapa saya harus berenang kalau saya suka balet, mengapa saya harus tahu mobil kalau saya suka karate, mengapa saya harus dikumonkan kalau saya tidak mau dikumonkan. Bahkan, dari sejak sekolah dasar saya sudah bertanya kepada ibu saya, mengapa saya harus bersekolah kalau pelajaran Pancasila atau hitung-menghitung bisa saya dapatkan di dalam rumah sambil makan plecing kangkung. Dan sejuta permasalahan yang membuat saya merasa orangtua itu tak bedanya dengan sipir penjara.

Kalau tingkat kewarasan saya dalam keadaan memuncak, saya bisa mengerti orangtua tak bedanya seperti kata Candil bahwa rocker itu hanyalah manusia. Maksudnya, tak bisa bebas dari membuat kesalahan. Tetapi, hukum sosial umumnya mengharapkan orangtua kalau bisa tidak boleh punya kesalahan. Kasihan juga jadi orangtua, ternyata tertekan juga. Tak beda dengan anak-anaknya. Jadi, yang menekan dan yang ditekan ternyata juga punya beban yang sama.

Mirip Rocker

Teman saya memberi komentar sambil tertawa-tawa. Ia kemudian bertanya tentang masalah ayah saya yang sampai membuatnya tergeletak di bangsal rumah sakit. Bicara rumah sakit, selain untuk menampung dan mengobati orang sakit, juga membuat orang sakit bertambah sakit dengan suasananya yang terkadang tidak manusiawi dan perlakuan para pekerja rumah sakit-termasuk dokter- yang sami mawon, meski masih ada saja yang masuk ke dalam kelompok kecil sebagai kelompok yang baik budi.

Maka, kalau orang sakit masuk rumah sakit kemudian menjadi tambah sakit, mungkin itu bukan salah dokternya. Karena sudah sakit kok berani masuk rumah yang sakit. Mungkin mereka yang tidak manusiawi itu dapat juga berkata kepada saya, " Kami kan sama dengan rocker, cuma manusia." Manusia yang tidak manusiawi, maksudnya.

Setelah saya menjelaskan mengapa ayah saya sampai terbaring di rumah sakit, teman saya bertanya lagi, " Memang lo sendiri saja nungguin Bokap?"

Saya menjelaskan, saya ditemani Ibu. Kemudian ia menjelaskan, sekarang ia menunggui ayahnya lebih karena merasa bersalah, merasa telah membuang waktu untuk hanya memikirkan dirinya sendiri selama ini, dan tak banyak menyediakan waktu pada masa-masa lalu bersama ayahnya.

Ketika kadar trombosit ayahnya semakin rendah, perasaannya semakin bersalah. Ia bahkan mengatakan jangan sampai ayahnya game over ( istilah yang saya pinjam dari seorang ibu, pembaca parodi ini, melalui kartu ucapan yang mengharukan yang dikirimkannya kepada saya ), sebelum ia bisa melunasi perasaan bersalahnya. " Maka itu, gue ngejagaan Bokap meskipun gue capai banget karena setiap hari masih harus kerja," katanya.


Bayar Utang

Saya merasa sedih, tidak untuk cerita teman saya, tetapi saya sedih untuk diri saya sendiri yang tak ada bedanya dengan situasi teman tadi.

Kedua ayah kami sama-sama sakit, eh…anak-anaknya sama-sama sedang mencoba melunasi pembayaran utang-utangnya yang berpuluh tahun sudah menumpuk dan hendak dilunasi dalam waktu sekian minggu.

Dan pelunasannya mengambil tempat di dalam rumah sakit, tepatnya di kamar di mana seorang manusia bernama ayah sedang "terikat" selang oksigen dan infus, menatap orang yang selama ini dianggapnya mengasihi, dengan pandangannya lemah, letih, lelah, lesu.

Pembayaran utang itu kemudian diwujudkan dengan menjaga siang dan malam di bangsal rumah sakit, menyediakan apa saja yang dibutuhkan, menaikkan doa mencoba merayu Tuhan agar menyembuhkan. Padahal, dengan ayah sendiri saja saya jarang memiliki hubungan yang baik, apalagi dengan Sang Pencipta. Jadi, saya malah memborong dua rasa bersalah pada waktu bersamaan. Kepada Ayah dan kepada Sang Khalik.

Dan dengan melakukan semua itu, saya menjunjung tinggi dan mengaminkan ungkapan kondang dan klise : " better late than never ".

Padahal, kalau dipikir, itu cuma ungkapan banyolan saya saja karena tidak mau menerima rasa bersalah yang tak terbayarkan. Terlambat ya terlambat saja. Terlambat itu ya salah. Kalaupun keterlambatan itu bisa dibayarkan, itu juga tidak membuat saya yang terlambat menjadi tidak terlambat dan tidak bersalah. Saya tetap terlambat dan bersalah.

Dan bagaimana saya dapat membandingkan keterlambatan dengan kata never alias tidak sama sekali. Kedua hal yang berbeda bagaikan wajah saya dengan Ashton Kutcher. Jadi, terlambat dan tidak sama sekali tidak ada "better-better"-nya. Yang better adalah kalau saya tidak terlambat.

Semua itu karena saya mencoba menghilangkan perasaan bersalah secara instan, seperti sebuah iklan sabun cuci, pembersih noda yang mempu menghilangkan seketika. Teman saya bertanya, " Lo mau menghilangkan noda bersalah lo itu? "

Tentu saya menjawab dengan mengganggukkan kepala. Kemudian ia menjawab, " Gelek aja tuh sabun cuci. "

Oleh : Samuel Mulia

Seperti cerita Samuel di atas, saya pun teringat dengan orangtua saya terutama ayah saya. Selama hidup saya, tak pernah sekalipun saya membuat ayah saya bangga, membuat beliau senang, membuat beliau tertawa. Ketika ayah saya sakit, saya tidak ada di sampingnya. Bahkan saya tidak tahu bahwa ayah masuk rumah sakit sudah hampir seminggu karena stroke. Sejak saat itulah setiap saat saya menelepon ke rumah dengan alasan yang dibuat-buat padahal hanya untuk mengetahui keadaan rumah seperti apa. Jujur dalam hati, saya mengasihi orangtua saya, tetapi sejak dahulu saya tidak pernah akur dengan anggota-anggota keluarga di rumah. Mungkin hal itu disebabkan dengan sikap pemberontak, pembangkang, pemarah, dan mudah tersinggung saya. Tetapi setelah melewati proses yang tidak mudah akhirnya saya pada suatu titik di mana saya bisa tahu betapa berharganya sebuah keluarga.

Saya setuju dengan sebuah ungkapan : Keluarga seperti sebuah gurita, kita selalu berusaha lepas darinya. Namun kita tidak pernah lepas dari tentakel-tentakelnya.

Ke manapun kita melangkah. Seberapa jauhnya perjalanan kita. Ketika sudah capai, pada akhirnya kita akan kembali pulang ke suatu tempat yang namanya rumah dan sebuah kehangatan yang bernama keluarga

Pathway of Pain

If my days were untroubled and my heart always light,
would I seek that fair land where there is no light?

If I never grew weary with the weight of my load,
would I search for God’s peace at the end of the road?

If I never knew sickness and never felt pain,
would I search for a hand to help and sustain?

If I walked without sorrow and lived without loss,
would my soul seek solace at the foot of the cross?

If all I desired was mine day by day,
would I kneel before God and earnestly pray?

If God sent no winter fo freeze me with fear,
would I yearn for the warmth of spring every year?

I ask myself these and the answer is plain;
if my life were pleasure and I never knew pain,

I’d seek God less often and need Him much less,
for God is sought more often in times of distress

And no one knows and sees Him as plain as those
who have met Him on the Pathway of Pain

Author Unknown

Aku pernah membaca sebuah tulisan tentang seorang atheis yang bertanya jika memang ada Tuhan, mengapa ada penderitaan? Jika memang ada Tuhan mengapa ada kejahatan? Di manakah Tuhan?

Seringkali kita pun bertanya hal yang sama. Di manakah Tuhan? Kita berdoa namun tidak ada jawaban yang diterima. Apakah Tuhan benar-benar ada? Jika memang ada, mengapa Dia tidak menjawab doa kita? Apakah Tuhan itu tuli? Dia tidak bisa mendengar? Apakah Dia juga buta sehingga tidak bisa melihat penderitaan kita?

Tidak ada seorang pun yang bertemu dengan Tuhan namun hidupnya tidak berubah. Mari kita lihat Paulus. Dia yang dulunya pemburu jemaat menjadi rasul yang luar biasa bagi Kristus bahkan dia rela disiksa dan mati bagi Kristus. Kita bisa membaca pernyataannya yang sangat terkenal Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Filipi 1:21. Siapa lagi contoh lain? Penderitaan jangan lupakan Ayub yang dalam penderitaan masih bisa memuji Allah. "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"Ayub 1:21 dan walaupun sudah sangat menderita dan diminta oleh istrinya untuk mengutuki Allah malahan bisa berkata, "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"Ayub 2:10.

Aku masih ingat dengan jelas kata-kata adikku saat aku mulai mengeluhkan mengenai hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Seharusnya kamu senang karena menderita. Itu berarti Tuhan mengizinkan kamu merasakan apa yang Dia rasakan.

Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini. Ibrani 11:13

Ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan. Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik. Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung. Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik. Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan. Ibrani 11:35-40

Mungkin saat ini kita masih hidup dalam penderitaan dan kita belum melihat pemenuhan janji Allah, akan tetapi percayalah bahwa Yesus pergi untuk menyediakan suatu tempat buat kita.
Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ." Yohanes 14:1-4

Monday, November 1, 2010

Love Lead Me Back

Beberapa hari yang lalu, salah satu teman men-tag sebuah foto di facebook. Foto tersebut foto kenangan sewaktu kelas 2 SMA, saat ulang tahun wali kelas kami yang ketiga puluh lima. Entah mengapa foto itu membuatku menjadi melankolis. Membuatku kembali ke masa lalu yang kubenci sekaligus kurindukan. Ada saat-saat manis, namun tidak sedikit pula saat-saat pahit. Aku ingat semuanya itu seakan-akan peristiwa itu baru saja terjadi kemarin bukan tujuh tahun yang lalu. Kepingan-kepingan kenangan itu menyatu kembali membentuk suatu cerita.

Ruangan kelasku berada di bangunan baru yang terletak di sebelah kanan pintu gerbang sekolah. Bangunan baru tersebut terdiri atas dua lantai dengan empat ruangan kelas dan kelasku sendiri yakni kelas 2.1 berada di lantai atas bersebelahan dengan kelas 2.2. Karena sekolahku adalah sekolah negeri, maka tidak heran jika murid warga keturunan Chinese di kelas 2.1 hanya ada dua orang termasuk aku.

Dulu... Kelasku sangat kompak. Kami sering melakukan hal-hal gila. Membuang tas keluar melalui tembok pagar belakang sekolah lalu diam-diam kabur saat tidak dilihat penjaga sekolah. Kami sering kumpul-kumpul buat masak dan makan bersama.

Aku ingat pada teman karib sekaligus teman sebangku. Kami sangat kompak dalam menyontek. Karena badanku cukup besar, aku menghalangi penglihatan guru sementara dia membuka buku.

Bercerita tentang masa-masa sekolah, aku tidak akan lupa pada seseorang yang begitu berkesan. Berkesan karena dia adalah tetanggaku dan telah menyukaiku sejak masih sekolah dasar. Dia sangat sering menggangguku dengan kiriman salam melalui teman-temannya juga dengan lagu-lagu dan tarian-tarian India. Dia sangat suka bertingkah seakan-akan dia adalah tokoh utama pria dan aku tokoh utama wanita dalam film India. Sejujurnya aku sangat terkesan padanya. Sampai saat ini belum pernah ada yang menyukaiku segila dan selama dia. Sejak masih kelas satu sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Baru saja kemarin aku meng-confirm salah satu orang yang pernah kusukai. Aku tertawa sewaktu salah seorang teman lama mengatakan dia adalah pacarku sewaktu SMA. Hal itu tidaklah benar walaupun kami pernah cukup dekat. Dia sangat pintar Fisika serta Matematika dan aku sering menyalin tugas-tugasnya. Aku tertawa karena dia melamarku kemarin dan aku harus menerima lamarannya itu. Sewaktu aku menanyakan mengapa aku harus menerima lamarannya, dia menjawab karena dulu dia sering memberi contekan padaku. Orang yang sungguh aneh. Apa hubungannya menerima lamaran dengan contekan? Yang aku tahu, dia banyak berubah. Sudah tidak seperti orang kusukai dulu. Mungkin boleh dikatakan, aku tidak menyukai perubahan yang terjadi padanya.

Saling memberi komentar foto di facebook. Saling melempar olokan. Mungkin hal itu akan menjadikan seseorang menjadi dekat. Dia berubah. Menjadi lebih baik dan responsif padaku tidak seperti dulu. Dulu aku memang menyukainya. Menyukainya dengan perasaan remaja. Tapi tidak demikian sekarang. Perasaan itu kutinggalkan bersama berlalunya masa SMA. Tidak akan ada kisah masa lalu yang terulang.

Masa SMA tidak bisa lepas darinya. Dia kembali seperti hantu yang menakutkan. Kembali melakukan pendekatan-pendekatan padaku. Yang bisa kulakukan hanyalah bersikap sopan dan bersahabat. Hanya itu. Tidak lebih. Seharusnya aku benci padanya tapi tidak kulakukan. Walaupun pernah menyakiti hatiku, tapi aku tidak pernah menyimpan kebencian padanya dan tidak pula menyimpan cinta padanya.

Banyak hal yang bisa kuceritakan. Tentang betapa jahatnya aku pada adik-adikku dan kedua orangtuaku. Betapa aku sering memberontak melawan papa mama. Menyakiti hati mereka. Betapa aku tidak akur dengan adik-adikku.

Bisa kuceritakan kegagalan-kegagalan maupun hinaan-hinaan yang kuterima. Bisa kukatakan bahwa kehidupan membentuk aku dengan keras. Mengajari betapa salahnya aku. Betapa hina dan berdosanya aku. Betapa aku sangat jahat dan hatiku menyimpan kebusukan. Bisa pula kukatakan bahwa Allah begitu baik. Amat sangat baik padaku. Dia sangat mengasihiku sekalipun aku jahat. Amat sangat jahat.

Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku tidak pernah berubah, tetapi hal itu tidaklah benar. Tuhan menggunakan waktu, lingkungan, pengalaman membentuk pribadi setiap orang, salah satunya diriku. Aku berubah.

Ingin sekali kukatakan bahwa aku benci hidupku. Benci masa laluku. Menyesali semua hal yang terjadi di waktu lampau. Jika aku mengatakan hal itu berarti aku berbohong. Aku mencintai hidupku. Tidak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi. Ingin pula kukatakan bahwa aku menderita. Aku tidak mempunyai banyak teman. Itu pun tidak benar. Mungkin memang sudah bawaan dari lahir, aku mudah berteman dengan orang lain sehingga teman-temanku cukup banyak dan mereka dapat menerimaku sekalipun aku berbeda. Mereka pribumi sementara aku warga keturunan Chinese.

Ingin pula kukatakan bahwa mereka dulu jahat padaku. Mereka tidak pernah menganggapku teman. Tapi itu tidaklah benar. Kenyataannya mereka baik padaku. Akulah yang membangun tembok dengan orang-orang. Aku tinggal di dalam lingkaran yang kubuat. Tidak pernah kuizinkan dan kurasa pantas untuk orang-orang masuk dalam hatiku dan tinggal di dalamnya. Ya... Aku orang yang egois, keras kepala dan keras hati. Aku hanya mencintai diriku sendiri. Seperti itulah aku sampai aku bertemu dengan Kristus. Tidak ada orang yang bertemu pada-Nya dan tidak berubah. Dia membuka lingkaran dan meruntuhkan tembok yang kubuat. Setiap kali aku lari dan mulai membangun tembok Yeriko-ku, Dia selalu menuntunku kembali ke rumah. Love lead me back...

Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

Roma 5:6-8

Greatest Love Story

Wuih... Udah lama y ga posting tulisan lagi. Hohoho... Sepertinya Tuhan tidak memberikan inspirasi untuk menulis (sekarang sih udah ada 1 ide ok ntar akan dituangkan dalam bentuk tulisan dan sharing langsung). Hmm... Hari ini aku posting tulisan karena kmrn seseorang bertanya kepadaku kenapa tidak kirim email lagi... :)

Ada dua topik yang begitu hangat di dalam kehidupanku saat ini.
1. Mengenai dokter yang misioner (panggilan hidup)
2. Cinta (Pasangan hidup)

Aku menuliskan tulisan mengenai cinta bukan berarti topik tersebut lebih penting daripada topik panggilan hidup melainkan karena tulisan ini sudah pernah diposting sebelumnya di friendster tinggal diedit sehingga lebih baik. Tulisan mengenai panggilan hidup masih dalam kerangka pikiran. Perlu disusun dengan lebih baik. Hehehe...

Suatu ketika, aku bersama seorang teman pernah menonton MV lagu dari Kiss (nama penyanyi). Lagu tersebut bercerita mengenai seorang cowok yang mendonorkan matanya kepada kekasihnya yang matanya buta akibat tidak sengaja menumpahkan cairan berbahaya ke matanya. Teman tersebut berkomentar, mengapa dia tidak memberikan sebelah matanya saja sehingga mereka masing-masing mempunyai sebelah mata yang dapat melihat. Dengan demikian keduanya bisa bersama. Kisah itu pun dapat berakhir dengan bahagia.
Mari kita belajar dan merenungkan mengenai lagu dan perkataan temanku itu.
Seandainya kita mencintai seseorang, apakah kita tidak akan memberikan bagian/hal terbaik dalam hidup kita buat orang yang kita cintai? Tentu saja kita akan memberikan yang terbaik bukan?

Ayo kita bandingkan kisah cinta di atas dengan kisah cinta yang terjadi 2000 tahun lebih di Golgota. Mari kita renungkan Yesaya 53

Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar,
dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?
Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN
dan sebagai tunas dari tanah kering.
Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia,
dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.
Ia dihina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan;
ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia
dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya,
dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,
padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.
Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita,
dia diremukkan oleh karena kejahatan kita;
ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya,
dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Kita sekalian sesat seperti domba,
masing-masing kita mengambil jalannya sendiri,
tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.
Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas
dan tidak membuka mulutnya
seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian;
seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.
Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil,
dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?
Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup,
dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.
Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik,
dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat,
sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya.
Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan.
Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah,
ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut,
dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya.
Sesudah kesusahan jiwanya
ia akan melihat terang dan menjadi puas;
dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar,
akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan,
dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan,
yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut
dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak,
sekalipun ia menanggung dosa banyak orang
dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak

Menurutmu diantara kedua kisah tersebut di atas, manakah yang menceritakan kisah cinta yang paling besar? Kisah pertama atau kisah kedua? Mari kita beri perbandingan.

Kisah pertama : memberikan mata buat orang yang dicintainya

Kisah kedua : mati buat orang yang dicintai-Nya sekalipun orang yang dicintai tersebut tidak layak menerima pengorbanan sebesar itu

Sungguh ironis... Manusia seringkali meneteskan airmata untuk cinta yang semu. Cinta yang bisa memudar seiring dengan berjalannya waktu. Mereka seringkali lupa dan tidak menghargai cinta yang tak lekang oleh situasi dan waktu. Cinta yang tak pernah berubah dahulu, sekarang, maupun masa mendatang. Kita seringkali lupa mengenai cinta dan pengorbanan Kristus di kayu salib buat kita.

Mari kita renungkan dan mengingat kembali Cinta Pertama dan Terbesar dalam hidup kita. Jangan pernah menggantikannya dengan apapun.

Ketika saat ini kita tidak setia, segera kembali pada-Nya karena Dia memiliki kasih agape

Selamat merenungkan. Tuhan Yesus memberkati