Di sebuah pembukaan butik baru di mal baru, saya mengobrol dengan teman adik saya, yang kemudian menjadi teman saya juga.
Kami mengobrol melalui telepon genggam. Kami mengobrol tentang ayah kami masing-masing yang kebetulan terserang penyakit pada waktu bersamaan. Ayah teman saya diserang nyamuk yang membuat ia demam berdarah, ayah saya jantungnya diserang lemak atau apapun itu yang membuat beberapa pembuluh darahnya tersumbat.
Kami tak bicara soal kedua serangan itu, tetapi lebih mengobrol soal judul di atas, yang dikaitkan dengan "penghormatan" kami terhadap manusia bernama orangtua, dalam situasi pelik seperti saat mendapat serangan itu.
Awalnya, saya bercerita mengenai kondisi hubungan saya dengan ayah, sejak pertama kali saya terusik "surat edaran"tak tertulis soal peraturan rumah yang "ditandatangani" kepala keluarga, dengan tembusan kepada wakil kepala keluarga. Juga, sejak saya mampu tak lagi dikuasai pendapat kepala rumah tangga yang acapkali menimbulkan cipratan-cipratan api kecil.
Begitu banyak hal yang tak saya setujui, terutama masa remaja ketika datangnya sifat pemberontak yang meletup-letup dan susah dikekang. Namanya juga pemberontak, tak mungkin mau dikekang, bukan? Maka pertanyaan mengapa saya harus tidur siang sementara anak tetangga asyik bermain layangan, dan dengan lantang memanggil nama saya berkali-kali dari luar rumah sehingga ritual tidur siang saya tak hanya terganggu, tetapi memampukan saya melakukan tindakan melanggar surat edaran itu, sering datang di kepala saya.
Juga soal mengapa saya harus berenang kalau saya suka balet, mengapa saya harus tahu mobil kalau saya suka karate, mengapa saya harus dikumonkan kalau saya tidak mau dikumonkan. Bahkan, dari sejak sekolah dasar saya sudah bertanya kepada ibu saya, mengapa saya harus bersekolah kalau pelajaran Pancasila atau hitung-menghitung bisa saya dapatkan di dalam rumah sambil makan plecing kangkung. Dan sejuta permasalahan yang membuat saya merasa orangtua itu tak bedanya dengan sipir penjara.
Kalau tingkat kewarasan saya dalam keadaan memuncak, saya bisa mengerti orangtua tak bedanya seperti kata Candil bahwa rocker itu hanyalah manusia. Maksudnya, tak bisa bebas dari membuat kesalahan. Tetapi, hukum sosial umumnya mengharapkan orangtua kalau bisa tidak boleh punya kesalahan. Kasihan juga jadi orangtua, ternyata tertekan juga. Tak beda dengan anak-anaknya. Jadi, yang menekan dan yang ditekan ternyata juga punya beban yang sama.
Mirip Rocker
Teman saya memberi komentar sambil tertawa-tawa. Ia kemudian bertanya tentang masalah ayah saya yang sampai membuatnya tergeletak di bangsal rumah sakit. Bicara rumah sakit, selain untuk menampung dan mengobati orang sakit, juga membuat orang sakit bertambah sakit dengan suasananya yang terkadang tidak manusiawi dan perlakuan para pekerja rumah sakit-termasuk dokter- yang sami mawon, meski masih ada saja yang masuk ke dalam kelompok kecil sebagai kelompok yang baik budi.
Maka, kalau orang sakit masuk rumah sakit kemudian menjadi tambah sakit, mungkin itu bukan salah dokternya. Karena sudah sakit kok berani masuk rumah yang sakit. Mungkin mereka yang tidak manusiawi itu dapat juga berkata kepada saya, " Kami kan sama dengan rocker, cuma manusia." Manusia yang tidak manusiawi, maksudnya.
Setelah saya menjelaskan mengapa ayah saya sampai terbaring di rumah sakit, teman saya bertanya lagi, " Memang lo sendiri saja nungguin Bokap?"
Saya menjelaskan, saya ditemani Ibu. Kemudian ia menjelaskan, sekarang ia menunggui ayahnya lebih karena merasa bersalah, merasa telah membuang waktu untuk hanya memikirkan dirinya sendiri selama ini, dan tak banyak menyediakan waktu pada masa-masa lalu bersama ayahnya.
Ketika kadar trombosit ayahnya semakin rendah, perasaannya semakin bersalah. Ia bahkan mengatakan jangan sampai ayahnya game over ( istilah yang saya pinjam dari seorang ibu, pembaca parodi ini, melalui kartu ucapan yang mengharukan yang dikirimkannya kepada saya ), sebelum ia bisa melunasi perasaan bersalahnya. " Maka itu, gue ngejagaan Bokap meskipun gue capai banget karena setiap hari masih harus kerja," katanya.
Bayar Utang
Saya merasa sedih, tidak untuk cerita teman saya, tetapi saya sedih untuk diri saya sendiri yang tak ada bedanya dengan situasi teman tadi.
Kedua ayah kami sama-sama sakit, eh…anak-anaknya sama-sama sedang mencoba melunasi pembayaran utang-utangnya yang berpuluh tahun sudah menumpuk dan hendak dilunasi dalam waktu sekian minggu.
Dan pelunasannya mengambil tempat di dalam rumah sakit, tepatnya di kamar di mana seorang manusia bernama ayah sedang "terikat" selang oksigen dan infus, menatap orang yang selama ini dianggapnya mengasihi, dengan pandangannya lemah, letih, lelah, lesu.
Pembayaran utang itu kemudian diwujudkan dengan menjaga siang dan malam di bangsal rumah sakit, menyediakan apa saja yang dibutuhkan, menaikkan doa mencoba merayu Tuhan agar menyembuhkan. Padahal, dengan ayah sendiri saja saya jarang memiliki hubungan yang baik, apalagi dengan Sang Pencipta. Jadi, saya malah memborong dua rasa bersalah pada waktu bersamaan. Kepada Ayah dan kepada Sang Khalik.
Dan dengan melakukan semua itu, saya menjunjung tinggi dan mengaminkan ungkapan kondang dan klise : " better late than never ".
Padahal, kalau dipikir, itu cuma ungkapan banyolan saya saja karena tidak mau menerima rasa bersalah yang tak terbayarkan. Terlambat ya terlambat saja. Terlambat itu ya salah. Kalaupun keterlambatan itu bisa dibayarkan, itu juga tidak membuat saya yang terlambat menjadi tidak terlambat dan tidak bersalah. Saya tetap terlambat dan bersalah.
Dan bagaimana saya dapat membandingkan keterlambatan dengan kata never alias tidak sama sekali. Kedua hal yang berbeda bagaikan wajah saya dengan Ashton Kutcher. Jadi, terlambat dan tidak sama sekali tidak ada "better-better"-nya. Yang better adalah kalau saya tidak terlambat.
Semua itu karena saya mencoba menghilangkan perasaan bersalah secara instan, seperti sebuah iklan sabun cuci, pembersih noda yang mempu menghilangkan seketika. Teman saya bertanya, " Lo mau menghilangkan noda bersalah lo itu? "
Tentu saya menjawab dengan mengganggukkan kepala. Kemudian ia menjawab, " Gelek aja tuh sabun cuci. "
Oleh : Samuel Mulia
Seperti cerita Samuel di atas, saya pun teringat dengan orangtua saya terutama ayah saya. Selama hidup saya, tak pernah sekalipun saya membuat ayah saya bangga, membuat beliau senang, membuat beliau tertawa. Ketika ayah saya sakit, saya tidak ada di sampingnya. Bahkan saya tidak tahu bahwa ayah masuk rumah sakit sudah hampir seminggu karena stroke. Sejak saat itulah setiap saat saya menelepon ke rumah dengan alasan yang dibuat-buat padahal hanya untuk mengetahui keadaan rumah seperti apa. Jujur dalam hati, saya mengasihi orangtua saya, tetapi sejak dahulu saya tidak pernah akur dengan anggota-anggota keluarga di rumah. Mungkin hal itu disebabkan dengan sikap pemberontak, pembangkang, pemarah, dan mudah tersinggung saya. Tetapi setelah melewati proses yang tidak mudah akhirnya saya pada suatu titik di mana saya bisa tahu betapa berharganya sebuah keluarga.
Saya setuju dengan sebuah ungkapan : Keluarga seperti sebuah gurita, kita selalu berusaha lepas darinya. Namun kita tidak pernah lepas dari tentakel-tentakelnya.
Ke manapun kita melangkah. Seberapa jauhnya perjalanan kita. Ketika sudah capai, pada akhirnya kita akan kembali pulang ke suatu tempat yang namanya rumah dan sebuah kehangatan yang bernama keluarga
No comments:
Post a Comment