Welcome...

Selamat datang di blog saya. Senang sekali ada yang mau berkunjung. Mencoba menjadi penulis yang baik. Menuliskan topik yang terjadi di sehari-hari berdasarkan pengalaman pribadi, lumayan panjang (walaupun capek mikir dan ngetik wakakaka...), inspiratif, informatif, dan tidak membosankan pembaca (karena saya males baca sebenarnya)... Semoga blog ini bermanfaat buat semua yang mampir. Terima kasih... :)

Tuesday, August 31, 2010

Jika Kau Berpikir Jauh Ke Depan

Pengamen bukan suatu pemandangan baru lagi di Jakarta ini. Hampir di seluruh pelosok ibukota ini ada pengamen. Bukan hanya di Jakarta saja, pengamen sudah merambat ke Bandung, dan bahkan yang tak saya sangka sampai ke Makassar. Kalau hanya sekedar nyanyi dan meminta bayaran seikhlasnya sih tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah pengamen bukan hanya mengamen saja, namun juga berpraktek sebagai pemalak bahkan penodong. Kejadian ini tiga kali saya alami dalam bis arah Senen-Islamic. Pengamen tersebut mengancam dengan kasar dan menggunakan pisau lipat. Kali pertama itu karena takut saya memberikan uang seribu rupiah. Kali kedua dan ketiga sewaktu diancam, saya sudah tidak takut lagi. Mau bunuh, silahkan bunuh saja. Saya tidak takut. Bahkan tatapannya saya balas dengan tatapan yang lebih mematikan lagi. Jika tampak takut, dia/mereka akan lebih berani lagi.

Berbicara mengenai pengamen, pada beberapa waktu lalu saya pernah pelayanan ke mereka dalam bentuk mengajarkan pelajaran sekolah. Waktu itu saya mengajarkan seorang anak perkalian dua dan tiga. Selama hampir dua jam belajar, namun dia tidak bisa juga menghafalkan. Mengalami hal itu, saya berkata dalam hati. "Mengapa menghafal perkalian dua dan tiga saja sulit sekali padahal di sekolah pun telah diajari, namun menghafalkan lagu-lagu untuk dinyanyikan pada saat mengamen sangat cepat?"

Mengamen untuk bertahan hidup atau belajar, manakah yang penting? Kalau kau bertanya pada anak-anak tersebut, mereka tentu saja akan menjawab "Ngamen." Hal sama kau tanyakan pada diri saya, mungkin akan saya jawab dengan jawaban yang sama seperti anak-anak itu.

Mengamen menghasilkan sesuatu yang dapat segera dilihat, dalam hal ini tentu saja uang. Didapat dengan mudah dan cepat. Cukup bermodalkan suara, lagu, tepukan tangan, dan tangan yang menengadah. Sebaliknya, sekolah itu sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasilnya. Harus melewati taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/kejuruan. Itu pendidikan minimal untuk diterima kerja dan hasilnya pun tidak seberapa. Untuk mendapatkan lebih dari itu, harus melewati perguruan tinggi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah lulus pun tidak mungkin langsung bisa diterima kerja dan mendapatkan hasil yang berkelimpahan. Bila dilihat dari sudut pandang seperti itu, mengamen lebih menjanjikan daripada sekolah.

Benarkah seperti itu? Mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah hal ini dalam konteks jauh ke depan dan lebih luas. Apakah yang mereka dapatkan di jalanan? Anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tidak takut akan Tuhan padahal takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Pengetahuan bahwa merokok dalam jangka waktu panjang akan merusak kesehatan. Pengetahuan bahwa seks bebas akan menyebabkan penyakit menular seksual. Selain itu seks bebas sebagian besar menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dari situlah terjadi aborsi yang bukan hanya membahayakan ibu tapi juga janin. Pengetahuan bahwa pemakaian obat-obatan terlarang memang memberi kenikmatan namun hanya sementara. Pemakai obat-obatan terlarang menjadi ketagihan. Dosis semula menjadi tidak memuaskan. Semakin hari dosis semakin meningkat. Semakin meningkat dosis, butuh semakin banyak pula uang untuk membelinya. Dari mana uang tersebut didapat? Apakah hasil ngamen bisa menutupi kebutuhan tersebut? Tentu saja tidak. Bagaimana untuk mendapatkan uang lebih? Menodong, mencopet, mencuri, merampok menjadi pilihan selanjutnya. Pengetahuan bahwa mabuk-mabukan itu berbahaya. Merusak kesehatan, membuat diri tidak awas dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Orang mabuk ditabrak. Bukan hal biasa lagi dibaca di koran-koran dan disiarkan di televisi. Apakah ada yang bertahan di jalanan dan menjadi sukses? Sukses dengan jalan yang bersih tentunya. Bukankah lebih banyak dari mereka yang berakhir dengan kematian? Sungguh sedih mereka menempatkan diri sendiri dalam lingkaran setan.

Sayangnya hanya sedikit yang mau melepaskan diri dari lingkaran setan ini. Belajar. Bersekolah. Memperbaiki diri. Membuat hidup menjadi lebih baik. Mereka lebih memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan.

Bagaimanakah nasib bangsa ini ke depan jika generasi mudanya memilih untuk tidak takut akan Tuhan, memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan?

Thursday, August 26, 2010

Sebuah Refleksi : Koas Di Mata Koas - Ketika Kau Mengucapkan Sumpahmu

Hippocratic Oath


Original, translated into English
“ I swear by Apollo, the healer, Asclepius, Hygieia, and Panacea, and I take to witness all the gods, all the goddesses, to keep according to my ability and my judgment, the following Oath and agreement:
To consider dear to me, as my parents, him who taught me this art; to live in common with him and, if necessary, to share my goods with him; To look upon his children as my own brothers, to teach them this art.
I will prescribe regimen for the good of my patients according to my ability and my judgment and never do harm to anyone.
I will not give a lethal drug to anyone if I am asked, nor will I advise such a plan; and similiarly I will not give a woman a pessary to cause an abortion.
But I will preserve the purity of my life and my arts.
I will not cut for stone, even for patients in whom the disease is manifest; I will leave this operation to be performed by practitioners, specialists in this art.
In every house where I come I will enter only for the good of my patients, keeping myself far from all intentional ill-doing and all seduction and especially from the pleasures of love with woman or with men, be they free or slaves.
All that may come to my knowledge in the exercise of my profession or in daily commerce with men, which ought not to be spread abroad, I will keep secret and will never reveal.
If I keep this oath faithfully, may I enjoy my life and practice my art, respected by all men and in all times; but if I swerve from it or violate it, may the reverse be my lot.”

Classic

Classic translation of the English:

I swear by Apollo the Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the gods, and goddesses, making them my witnesses, that I will fulfill according to my ability and judgment this oath and this covenant:
To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard his offspring as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art–if they desire to learn it–without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all the other learning to my sons and to the sons of him who has instructed me and to pupils who have signed the covenant and have taken the oath according to medical law, but to no one else.
I will apply dietic measures for the benefit of the sick according to my ability and judgment; I will keep them from harm and injustice.
I will neither give a deadly drug to anybody if asked for it, nor will I make a suggestion to this effect. Similarly I will not give to a woman an abortive remedy. In purity and holiness I will guard my life and my art.
I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in favor of such men as are engaged in this work.
Whatever houses I may visit, I will come for the benefit of the sick, remaining free of all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female and male persons, be they free or slaves.
What I may see or hear in the course of treatment or even outside of the treatment in regard to the life of men, which on no account one must spread abroad, I will keep myself holding such things shameful to be spoken about.
If I fulfill this oath and do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and art, being honoured with fame among all men for all time to come; if I transgress it and swear falsely, may the opposite of all this be my lot.

Modern Version

I swear to fulfill, to the best of my ability and judgment, this covenant:
I will respect the hard-won scientific gains of those physicians in whose steps I walk, and gladly share such knowledge as is mine with those who are to follow.
I will apply, for the benefit of the sick, all measures [that] are required, avoiding those twin traps of overtreatment and therapeutic nihilism.
I will remember that there is art to medicine as well as science, and that warmth, sympathy, and understanding may outweigh the surgeon's knife or the chemist's drug.
I will not be ashamed to say "I know not," nor will I fail to call in my colleagues when the skills of another are needed for a patient's recovery.
I will respect the privacy of my patients, for their problems are not disclosed to me that the world may know. Most especially must I tread with care in matters of life and death. If it is given to me to save a life, all thanks. But it may also be within my power to take a life; this awesome responsibility must be faced with great humbleness and awareness of my own frailty. Above all, I must not play at God.
I will remember that I do not treat a fever chart, a cancerous growth, but a sick human being, whose illness may affect the person's family and economic stability. My responsibility includes these related problems, if I am to care adequately for the sick.
I will prevent disease whenever I can, for prevention is preferable to cure.
I will remember that I remain a member of society, with special obligations to all my fellow human beings, those sound of mind and body as well as the infirm.
If I do not violate this oath, may I enjoy life and art, respected while I live and remembered with affection thereafter. May I always act so as to preserve the finest traditions of my calling and may I long experience the joy of healing those who seek my help.

Salah satu profesi yang sangat menjanjikan ketenaran dan kekayaan adalah dokter. Sudah menjadi anggapan publik bahwa dokter pastilah kaya. Karena itulah banyak orang berlomba-lomba ingin masuk ke fakultas kedokteran. Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari cara yang lurus misalnya rajin belajar sampai mengambil les privat maupun cara yang tidak benar misalnya menyogok. Semua orang bisa menjadi dokter, namun tidak semua orang bisa menjadi dokter yang berintegritas dan takut akan Tuhan.

Menjadi dokter tidaklah mudah. Kau harus menjalani pendidikan yang lama, sekitar 5-6 tahun. Setelah menempuh program pendidikan dokter di mana kau belajar teori-teori medis lalu menjalani program profesi dokter di mana kau mempraktikkan ilmu yang didapat selama kuliah barulah kau dapat disahkan menjadi seorang dokter. Sebelum menyandang gelar dokter, kau harus mengucapkan Sumpah Dokter atau yang lebih dikenal dengan Hippocratic Oath.
Begitu selesai mengucapkan Sumpah Dokter, apakah segalanya akan menjadi lebih mudah? Kekayaan dan ketenaran akan mengikuti? Apakah benar menjadi dokter itu enak? Aku pikir tidak. Pernahkah kau menyadari dengan mengucapkan sumpahmu, sumpah itu terikat juga di surga?

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. Matius 18:18

Jadi sesungguhnya, menjadi seorang dokter itu bukannya enak namun kau memikul sebuah beban berat di pundakmu. Namun sayangnya tidak banyak dokter yang sungguh-sungguh melakukan apa yang telah dia sumpahkan. Mereka tidak bisa menjalankan Firman Tuhan seperti yang tertulis dalam Matius 5:33

Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.

Sebelum kau mengucapkan sumpahmu, pikirkanlah semuanya dengan matang... Mau jadi dokter yang seperti apakah dirimu?

Wednesday, August 25, 2010

Lesson For Today : Pak Satpam Di Kompleks Kosku

Wuih... Segar rasanya sudah selesai mandi. Sambil memikmati potongan-potongan melon orange, aku mengecek email-email yang masuk, membuka facebook, meng-update status, membalas dan mengirim sms, serta tak lupa memikirkan kalimat apa yang seharusnya kutulis.

Hmm... Banyak hal menarik yang terjadi hari ini sejak pukul 06.45 pagi sampai pukul 09.00 malam aku balik ke kos. Hari ini cukup sibuk. Mulai dari menggodai anak kecil lucu yang berjalan-jalan bersama kakeknya di kompleks; kerjaan di puskesmas; ketinggalan bis pulang (Syukurlah aku ketinggalan bis sehingga aku bisa makan siang dulu. Kalau tidak, mungkin sampai malam aku belum makan); ke bank menyetor uang untuk membayar tagihan listrik dan gaji pembantu; retur dan membeli sneli buat teman; mengambil obat-obatan buat keluarga binaan lalu balik pulang.

“Huh... Udara panas banget hari ini.” Keluhku dalam hati. Udara Jakarta hari ini seperti biasanya tidak pernah bersahabat dengan siapa saja. Berdebu dan panas.

“Bang... Cepetan jalan dong. Jangan lama-lama. Di sini panas banget.” Seru seorang ibu yang duduk di sebelahku. Namun tampaknya sopir bis tidak mendengarkannya. Sopir itu masih dengan setia menunggu bisnya dipenuhi penumpang melebihi kapasitas.

“Dek... Berapa harga koran Media Indonesia?” Tanya ibu tadi kepada seorang penjual koran yang masuk ke dalam bis.

“Dua ribu.” Jawab penjual koran itu.

“Saya beli satu.” Ibu itu menyodorkan selembar uang dua ribuan. Awalnya kupikir ibu itu mau mengisi waktunya dengan membaca koran sembari menunggu bis jalan, namun rupanya aku salah. Ibu itu menggunakan koran tersebut untuk mengipas-ngipasi dirinya supaya sejuk. Puji Tuhan... Di tengah panasnya cuaca, aku kecipratan rezeki merasakan kesejukan kipasan koran si ibu. Aku tertawa dalam hati melihat kelakuannya sembari berpikir. “Sepertinya hari ini akan hujan.” Tak lama kemudian, setelah keluar dari tol kebun jeruk rintik-rintik hujan mulai membasahi kaca jendela depan bis. Rintik-rintik itu lalu berubah menjadi deras. Sekali lagi aku tertawa dalam hati. “Sepertinya Tuhan tahu kalau hari ini aku lengket, gerah sekali, dan mau keramas nanti setelah sampai di kos.”

Dalam bis, aku memikirkan bagaimana cara meminimalkan kebasahan yang paling baik? Apakah aku harus menggunakan angkot putih, turun di mal lalu naik shuttle bis ke kos? Ataukah naik angkot putih, turun di depan jalanan masuk lalu berjalan kaki ke kos? Ternyata setelah dipikir dengan baik, apapun cara yang kugunakan, aku tetap saja akan basah. Akhirnya aku menggunakan pilihan kedua.

Singkat cerita, tibalah aku di depan jalanan masuk kompleks kos. Di depan jalanan masuk itu ada pos satpam. Seperti biasa, kami saling bertukar salam. “Selamat malam.”

Sambil berjalan ke kos, entah mengapa aku memikirkan mengenai satpam itu. Pikiran itu mengantarkanku pada sebuah ingatan lama mengenai satpam di kos yang pertama kali kutempati saat mulai kuliah.

Mungkin ada sekitar dua tahun aku tinggal di kos pertama itu. Setiap hari, aku bertukar salam dan kabar dengan satpam-satpam di sana. Jujur... Walaupun sering bertemu, bertukar salam dan kabar, aku tidak pernah ingat mereka secara khusus. Tapi rupanya mereka tidak seperti aku yang dengan mudah melupakan. Mereka masih ingat aku.

“Selamat sore Non.” Begitulah sapaan yang kuterima saat melangkah masuk ke dalam kompleks perumahan tempat adik-adik kelasku kos.

“Sekarang tinggal di sini ya... Pantesan saya sudah tidak pernah lihat lagi.” Aku terkejut. Dia mengenaliku. Apakah aku mengenalinya? Lama kupandangi dirinya sambil berusaha mengembalikan ingatanku. Di mana aku mengenal dirinya? Dia lalu mengenalkan dirinya sebagai satpam di kompleks perumahan tempat kosku dulu.

Bukan hanya sekali kejadian yang berhubungan dengan satpam itu terjadi. Di kompleks perumahan tempat seorang teman tinggal, aku dikenali oleh satpam kompleks perumahan kosku yang lama. Satpam itu dipindah tugaskan ke sana. Kejadian serupa juga pernah terjadi di dalam angkot, satpam itu mengenaliku sementara aku lupa padanya.

Menjadi Terkenal

Keong Racun... Lagu itu sempat marak akhir-akhir ini di media massa. Lipsync yang dibawakan oleh Sinta dan Jojo dan di-upload di Youtube membuat keduanya terkenal. Mereka bahkan telah dikontrak untuk menjadi artis. Apakah menjadi terkenal menjadi sedemikian pentingnya?

Realitanya memang seperti itu. Menjadi terkenal sangat penting. Lebih baik dikenal daripada mengenali. Karena itu setiap orang berlomba-lomba membuktikan dirinya eksis di dunia ini. Segala cara dilakukan untuk membuat diri terkenal bahkan termasuk melakukan hal-hal yang tidak benar.

Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya. Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul. Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak (Yesaya 53:1-12)

Dan...

Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: "Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam," maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang. Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau. (Mazmur 139:1-18)

Bagaimana korelasi antara kisah satpam, Jojo dan Sinta dengan ayat di atas...? Jika direnungkan secara lebih mendalam, akan ditemukan sebuah ironi…

Allah mengenal kita. Dia mengenal kita bahkan sebelum kita dibentuk. Dia sudah merancangkan semua yang baik untuk kita. Bagaimana dgn kita sendiri?

Oh... Sungguh menyedihkan... Kita tidak mengenali-Nya. Kita mendukakan hati-Nya. Karena dosa kitalah sehingga Kristus mengalami penganiayaan bahkan mati disalib.

Refleksi

Bagaimana hubungan pribadi kita selama ini dengan Allah? Apakah kita menyediakan waktu untuk bertemu dengan-Nya? Berkomunikasi dengan-Nya? Mencari tahu kehendak-Nya?

Sebagai pkk, pengurus. Apakah kita sudah menyediakan waktu untuk orang-orang yang kita layani? Apakah kita mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka bukan memuaskan keinginan kita akan kesombongan rohani?

Sebagai anggota keluarga. Bagaimana hubungan kita dengan keluarga kita? Apakah kita mengenali secara pribadi masing-masing anggota keluarga kita?

Secara sosial. Apakah kita mengetahui peranan kita di masyarakat? Masyarakat dan negara butuh apa? Apa yang bisa berikan untuk mereka yang membutuhkan? Bukan hanya kebutuhan akan materi namun juga kebutuhan akan Injil. Bagaimana hubungan kita dengan teman-teman? Sudahkah kita menjadi sahabat yang baik?