Pengamen bukan suatu pemandangan baru lagi di Jakarta ini. Hampir di seluruh pelosok ibukota ini ada pengamen. Bukan hanya di Jakarta saja, pengamen sudah merambat ke Bandung, dan bahkan yang tak saya sangka sampai ke Makassar. Kalau hanya sekedar nyanyi dan meminta bayaran seikhlasnya sih tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah pengamen bukan hanya mengamen saja, namun juga berpraktek sebagai pemalak bahkan penodong. Kejadian ini tiga kali saya alami dalam bis arah Senen-Islamic. Pengamen tersebut mengancam dengan kasar dan menggunakan pisau lipat. Kali pertama itu karena takut saya memberikan uang seribu rupiah. Kali kedua dan ketiga sewaktu diancam, saya sudah tidak takut lagi. Mau bunuh, silahkan bunuh saja. Saya tidak takut. Bahkan tatapannya saya balas dengan tatapan yang lebih mematikan lagi. Jika tampak takut, dia/mereka akan lebih berani lagi.
Berbicara mengenai pengamen, pada beberapa waktu lalu saya pernah pelayanan ke mereka dalam bentuk mengajarkan pelajaran sekolah. Waktu itu saya mengajarkan seorang anak perkalian dua dan tiga. Selama hampir dua jam belajar, namun dia tidak bisa juga menghafalkan. Mengalami hal itu, saya berkata dalam hati. "Mengapa menghafal perkalian dua dan tiga saja sulit sekali padahal di sekolah pun telah diajari, namun menghafalkan lagu-lagu untuk dinyanyikan pada saat mengamen sangat cepat?"
Mengamen untuk bertahan hidup atau belajar, manakah yang penting? Kalau kau bertanya pada anak-anak tersebut, mereka tentu saja akan menjawab "Ngamen." Hal sama kau tanyakan pada diri saya, mungkin akan saya jawab dengan jawaban yang sama seperti anak-anak itu.
Mengamen menghasilkan sesuatu yang dapat segera dilihat, dalam hal ini tentu saja uang. Didapat dengan mudah dan cepat. Cukup bermodalkan suara, lagu, tepukan tangan, dan tangan yang menengadah. Sebaliknya, sekolah itu sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasilnya. Harus melewati taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/kejuruan. Itu pendidikan minimal untuk diterima kerja dan hasilnya pun tidak seberapa. Untuk mendapatkan lebih dari itu, harus melewati perguruan tinggi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setelah lulus pun tidak mungkin langsung bisa diterima kerja dan mendapatkan hasil yang berkelimpahan. Bila dilihat dari sudut pandang seperti itu, mengamen lebih menjanjikan daripada sekolah.
Benarkah seperti itu? Mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah hal ini dalam konteks jauh ke depan dan lebih luas. Apakah yang mereka dapatkan di jalanan? Anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tidak takut akan Tuhan padahal takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan. Pengetahuan bahwa merokok dalam jangka waktu panjang akan merusak kesehatan. Pengetahuan bahwa seks bebas akan menyebabkan penyakit menular seksual. Selain itu seks bebas sebagian besar menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dari situlah terjadi aborsi yang bukan hanya membahayakan ibu tapi juga janin. Pengetahuan bahwa pemakaian obat-obatan terlarang memang memberi kenikmatan namun hanya sementara. Pemakai obat-obatan terlarang menjadi ketagihan. Dosis semula menjadi tidak memuaskan. Semakin hari dosis semakin meningkat. Semakin meningkat dosis, butuh semakin banyak pula uang untuk membelinya. Dari mana uang tersebut didapat? Apakah hasil ngamen bisa menutupi kebutuhan tersebut? Tentu saja tidak. Bagaimana untuk mendapatkan uang lebih? Menodong, mencopet, mencuri, merampok menjadi pilihan selanjutnya. Pengetahuan bahwa mabuk-mabukan itu berbahaya. Merusak kesehatan, membuat diri tidak awas dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Orang mabuk ditabrak. Bukan hal biasa lagi dibaca di koran-koran dan disiarkan di televisi. Apakah ada yang bertahan di jalanan dan menjadi sukses? Sukses dengan jalan yang bersih tentunya. Bukankah lebih banyak dari mereka yang berakhir dengan kematian? Sungguh sedih mereka menempatkan diri sendiri dalam lingkaran setan.
Sayangnya hanya sedikit yang mau melepaskan diri dari lingkaran setan ini. Belajar. Bersekolah. Memperbaiki diri. Membuat hidup menjadi lebih baik. Mereka lebih memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan.
Bagaimanakah nasib bangsa ini ke depan jika generasi mudanya memilih untuk tidak takut akan Tuhan, memilih menjadi orang bodoh dengan menghina hikmat dan didikan?
No comments:
Post a Comment