Dua hari belakangan ini aku sedang asyik-asyiknya menonton sebuah drama serial Taiwan judul Hi My Sweetheart. Dalam sebuah episode dikisahkan mengenai tokoh utama wanita Chen Bao Zhu dituduh melakukan plagiat tugas teman sekelasnya oleh dosennya. Chen Bao Zhu merasa tidak perlu membela diri atas tuduhan tersebut walaupun sebenarnya dia tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya itu. Alasan Chen Bao Zhu tidak membela diri disebabkan dia merasa tidak seorang pun yang menyayangi dirinya dan mempercayainya sehingga mau menjadi temannya. Beberapa tahun sebelumnya saat dia masih duduk di bangku SMA, dia pernah dituduh mencuri. Tuduhan tersebut terbukti benar dengan ditemukanya jam tangan yang hilang di dalam tasnya. Begitupula ketika tuduhan bahwa dia matrealistis karena mencampakkan pacarnya yang tiba-tiba jatuh miskin (alasan dia mencampakkan pacarnya tersebut akibat tekanan dari mamanya yang tidak menginginkan nasib anaknya seperti dirinya yang menderita menikah dengan orang miskin). Dengan latar belakang seperti itulah menyebabkan semua orang tidak percaya pada dirinya termasuk teman dekatnya sendiri, Lin Da Lang. Akhirnya terungkaplah kebenaran bahwa yang plagiat sebenarnya bukan dirinya melainkan orang lain.
Pernahkah kamu menonton sebuah film atau pertunjukkan? Tentu saja pernah bukan. Pernahkah kamu menyaksikan sebuah pertandingan olahraga dan merasa atlet yang berlaga itu hebat sekali? Ketika melihat sesuatu atau kejadian di depan mata kita pernahkah kita berpikir mengenai latar belakang di baliknya? Film yang bagus pun mengalami proses editing, pengambilan adegan yang sama berulang kali, pemain film pun bisa salah mengucapkan dialog. Dibalik kehebatan atlet, ada keuletan berlatih berkali-kali.
Seperti Lin Da Lang dalam serial tersebut yang tidak mempercayai Chen Bao Zhu, kita bahkan aku sendiri seringkali dengan begitu mudahnya menjatuhkan vonis bersalah pada orang lain tanpa pernah betul-betul paham dengan alasan dibaliknya.
Seorang teman pernah berkata demikian padaku, “Bersikap netral.” Mungkin sebaiknya itu yang perlu kita lakukan ketika menghadapi sebuah situasi. Tidak cepat menghakimi namun tidak mudah pula untuk membela. Selain itu hal yang paling esensial yang ingin aku tambahkan di sini adalah “Mengasihi.” Mengasihi ini bisa dalam bentuk memberikan kesempatan untuk menjelaskan atau kesempatan membela diri. Mengasihi juga bisa diterapkan sebagai pemberian kesempatan kedua atau kesempatan memperbaiki kesalahan. Jika Allah saja bisa mengampuni dosa-dosa yang kita lakukan berulang-ulang kali, masa kita sebagai manusia yang telah diampuni dosanya tidak bisa melakukan hal yang sama?
No comments:
Post a Comment